Myrna Safitri: Putusan MK “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” Bermasalah

Suaraagraria.com, 24 Mei 2014 – Meski disambut dengan gembira, ternyata Putusan MK 35 soal Hutan Adat Bukan Hutan Negara juga bisa menimbulkan masalah baru. Demikian analisa Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute baru-baru ini dalam bedah RUU PPHMA (Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengakuan Hak Masyarakat Adat) di Jakarta.

“Mahkamah Konstitusi (MK) itu menganut pandangan evolusionistik terhadap masyarakat adat. Menurut MK, masyarakat adat itu akan berkembang sampai suatu ketika mereka akan hilang,” bebernya. Hakim MK menyitir teori sosiologi klasik abad ke 19 yang menyatakan, ada perpindahan dari solidaritas mekanis menjadi  solidaritas organis. “Perlu dikritik,” tegasnya.

Menurut Myrna, Hakim MK itu terdiri dari sarjana-sarjana hukum, bukan sosiolog. Jadi sebenarnya mereka kurang mengikuti secara mendetail diskursus-diskursus tentang perkembangan masyarakat adat itu sendiri. Makanya Hakim MK melihat bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri dari masyarakat adat itu sebagai ancaman separatisme. Hak menentukan nasib sendiri haruslah dalam kerangka NKRI.  MK tidak menganut pandangan anthroposentris, artinya pandangan yang berpusat kepada kepentingan masyarakat adat. Jadi, pengakuan hutan adat tidak boleh mengingkari kelestarian hutan.

Kritik selanjutnya adalah soal kekosongan hukum terkait implementasi kepentingan masyarakat adat. “Sebenarnya tanggungjawab mengatur masyarakat adat adalah pemerintah pusat, tetapi kemudian pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah lewat Peraturan Daerah,” terangnya.

Yang menjadi masalah saat ini adalah, UU yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat adat itu sendiri belum ada. Perda-perda itulah yang kemudian mengisi kekosongan hukum itu.

Sayangnya, faktanya di lapangan menunjukkan bahwa banyak Perda yang tidak melindungi kepentingan masyarakat adat. Hal ini kemudian diperburuk lagi dengan keluarnya beberapa kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak kepada masyarakat adat.

Salah satunya adalah Surat Edaran Mendagri (SE Nomor 522/8900/SJ) yang mempersamakan definisi antara tanah ulayat dengan tanah kesultanan dan sejenisnya. “Padahal berdasarkan UU, jelas tanah ulayat dan kesultanan itu adalah dua entitas yang berbeda,” katanya. Langkah Mundur, Tanah Adat Dipersamakan Dengan Tanah Kraton

Lalu ada penyamaan istilah antara paguyuban dengan masyarakat adat. “Keliru dan diskriminatif,” ujar Myrna. Lanjutnya, paguyuban yang dinyatakan sama dengan masyarakat adat itu adalah teori yang tidak pernah terjadi secara kenyataan. “Masyarakat paguyuban itu 100% tidak pernah ada,” tegas Myrna lagi.

Soal Putusan MK dalam Pasal 67 ayat 1 juga bermasalah. Dikatakan dalam pasal itu, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

“Itu mitos, karena sejak dahulu kala masyarakat adat sudah melakukan aktivitas perdagangan dengan cara mereka sendiri. Jadi tidak melulu dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari,” tuturnya.

Pasal ini jelas membatasi masyarakat adat dan oleh karena itu juga sangat bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 28c Ayat 2 yang di dalamnya menjamin setiap warga negara memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya sendiri.