Undang-Undang P2H Berpotensi Kriminalkan Masyarakat Adat

Jurnas.com, 10 Juli 2013 | KOALISI Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan tengah menyiapkan draft judicial review atas pengesahan Undang Undang Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P2H). Gugatan uji materiil akan disampaikan oleh koalisi dalam waktu dekat.

“Koalisi akan rapat untuk persiapan judicial review besok sore,” kata anggota koalisi, Siti Rahma Mary saat dihubungi Jurnal Nasional, Rabu (10/7).

Koalisi terdiri dari sejumlah lembaga sipil masyarakat yang peduli dengan penegakan hukum di bidang kehutanan dan agraria. Mereka terdiri dari Perkumpulan HuMa, ICW, Epistema Institute, KPA, WALHI, JKPP, Yayasan Silvagama, AMAN, JATAM, Sawit Watch, ICEL, FKKM, PUSAKA, PIL-Net, ELSAM, dan JIKALAHARI Riau.

Siti menegaskan, pengesahan UU P2H yang disahkan oleh DPR RI pada Selasa (9/7) kemarin berpotensi mengkriminalisasi masyarakat adat. Unsur pasal-pasal UU P2H yang terlalu luas dan multitafsir dikhawatirkan cenderung dipergunakan untuk menjerat masyarakat adat dibanding korporasi.

Apalagi, sambung Siti, implementasi putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara belum dijalankan. Sementara di lapangan, masih banyak hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara.

Oleh karenanya, UU P2H hanya akan merugikan masyarakat adat akibat belum adanya kepastian mengenai implementasi putusan MK tersebut.

“Poinnya adalah UU ini berpotensi melanggar hak hidup masyarakat adat. Kalau UU diberlakukan, kriminalisasi pasti terjadi pada masyarakat adat,” ujar Siti yang juga anggota Perkumpulan HuMa.

Menurut Siti, sedari awal perumusan RUU P2H sudah bermasalah. Ia mengungkapkan, proses pembahasan RUU P2H yang dilakukan oleh Panja Komisi IV DPR RI tidak terbuka, dan terkesan diam-diam. Selain itu DPR juga dianggap tidak berupaya melakukan harmonisasi hukum antara RUU P2H dengan peraturan di sektor kehutanan lain. Tetapi justru memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana di sektor kehutanan ke dalam satu perundang-undangan.

“UU P2H menambah tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang mengatur sektor kehutanan. UU ini justru menjadikan penegakan hukum di sektor kehutanan menjadi sulit dilakukan,” tandas Siti.

UU P2H disahkan setelah melalui pembahasan sejak tahun 2011 lalu. Pembentukan aturan yang sebelumnya dinamakan RUU Pembalakan Liar (illegal logging) ini bertujuan untuk menindak pelaku perusak kehutanan khususnya yang berwujud korporasi.

Sumber : http://www.jurnas.com/news/99899