Selasa (27/8), telah berlangsung diskusi buku bertajuk Investasi Bodong: Mengungkap Beban dan Manfaat dari Investasi Sawit di Tanah Papua, di Hotel Gren Alia Cikini, Jakarta Pusat.
Diskusi ini menghadirkan Wiko Saputra (peneliti), tiga penanggap lainnya, yaitu Sulistyanto (Komisi Pemberantasan Korupsi), Metta Yanti (GIZ Indonesia), Danang Widoyoko (Transparency International) dan dipandu oleh Margareth Aritonang.
Wiko sebagai peneliti sekaligus penulis buku ini memulai dengan pemaparan soal dampak dari investasi sawit yang terjadi di Papua. “Penelitian ini berawal dari beberapa indikasi permasalahan perizinan (red: investasi sawit) di tingkat pemerintah daerah dan provinsi yang akhirnya beberapa izin itu dicabut”, kata Wiko.
Wiko menganalisis kehadiran sawit di Papua dalam kacamata ekonomi dengan menggunakan metode cost-benefit analysis (CBA). Selain itu, buku ini pun berisi pendekatan kualitatif lewat reportase yang memuat pernyataan langsung dari orang-orang Papua.
Wiko juga menceritakan jika investasi sawit di tanah Papua sempat mengalami kegagalan. Kegagalan ini meninggalkan jejak intimidasi oleh militer dalam pembukaan lahan sekaligus penanaman sawit, Wiko menyebutnya sebagai “Kebun Politik”.
“Pembukaan lahan (sawit) ini melibatkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di daerah Operasi Militer sembari melakukan intimidasi agar mengusir masyarakat adat keluar dari wilayah dan hutan mereka untuk dijadikan lahan sawit”, tambah Wiko.
Wiko juga menyebutkan jika investasi sawit di Papua adalah “Investasi Tipu-Tipu”. Pasalnya, dari 58 perusahaan yang sudah memegang izin usaha itu luasannya sudah sebesar 1,5 juta hektar.
Akan tetapi, saat ini luas perkebunan sawit yang baru ditanami hanya sebesar 169 ribu hektar. “Ini data yang sangat aneh, hipotesa kami menyimpulkan jika yang diinvestasikan oleh korporasi itu adalah penguasaan lahan bernilai ekonomi tinggi ketimbang sawit itu sendiri”, tandas Wiko.
Setelah pemaparan, diskusi berlanjut pada tiga penanggap yang hadir yaitu Sulistyanto, Mitta Yanti dan Danang Widoyoko.
Sulistyanto melihat hasil riset ini sebagai bukti nyata dari permasalahan dalam industri sawit di Papua. Selain itu, menurut Sulistyanto buku ini menjadi penting kehadirannya sebagai pembelajaran untuk mempertahankan hak-hak masyarakat atas investasi.
Pasalnya kini upaya potensi perluasan lahan sawit bakal kembali dilakukan di papua. “Maka dari itu, penelitian ini diharapkan jadi penting untuk memahami dampak buruk dari industri sawit”, kata Sulistyanto.
Metta Yanti, menggarisbawahi beberapa hal dari muatan buku ini. Penulisan kualitatif pada buku ini membuatnya seperti menangkap suasana realitas masyarakat Papua.
Metta berpendapat jika realitas lain itu harus ditampakan juga di buku ini yaitu soal upaya pemenuhan hak dasar masyarakat. “Bagaimana harapan masyarakat atas investasi bisa mengubah hidup dengan pemenuhan hak dasar”, kata Metta.
Menurut Metta, pemenuhan hak dasar itu masih dibebankan pada investasi. “Investasi tidak berkewajiban dalam pemenuhan hak dasar masyarakat di sekitar melainkan ini tanggung jawab pemerintah”, kata Metta.
Metta pun menyayangkan sampai saat ini investasi masih disimpulkan sebagai penyebab utama dari kemiskinan, khususnya yang terjadi di Papua.
Pendapat lain juga diutarakan oleh Danang Widoyoko. Menurut Danang buku ini harusnya juga didiskusikan di Papua. “Agar bisa jadi pembelajaran langsung di masyarakat Papua”, tambah Danang.
Danang beranggapan jika industri sawit merupakan bisnis yang tidak menguntungkan. Pasalnya dari keuntungan sawit, tidak cukup untuk menanggulangi dampak buruk pada lingkungan akibat sawit itu sendiri.
“Keuntungan yang sedikit dari sawit dan kemudian diurus pemerintah lokal, ujungnya malah habis membenahi dampak buruk dari kerusakan lingkungan yang terjadi di Papua”, tandas Danang.
Di akhir diskusi, Wiko berpesan agar paradigma pembangunan di Papua mulai beralih dari eksploitasi lingkungan menjadi pengembangan potensi masyarakatnya. “Beri Papua kesempatan dalam membangun dari paradigma pembangunan manusianya, dan cukup sudah investasi bodong ini”, tandas Wiko.