Angkringan Hutan Jawa seri ketiga dengan tajuk “Fakta Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat” diadakan pada Kamis, 14 Desember via daring.
Diskusi ini diisi oleh Wawan Gandrung, Gunarti, Siti Sopariah dan Hariadi Kartodihardjo yang dipandu oleh Dinah Rida.
Wawan dari KPS Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Rawa Sakti Desa Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Pemalang, Jawa Tengah bercerita soal kelompoknya yang mengelola hutan. LMDH Rawa Sakti ini baru berdiri pada 2016 dan masih berbentuk Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM).
Sebelum 2016, menurut Wawan masyarakat di Desa Gambuhan kesulitan mendapatkan akses dalam mengelola hutan. Ada beberapa halangan yang dihadapi Wawan dan masyarakat lainnya.
Wawan mengatakan jika dahulu ada anggota LMDH yang sempat ditodong senjata oleh Polisi Hutan saat mengelola hutan. Dalam sudut pandang Perhutani aktivitas itu dianggap ilegal.
Wawan sendiri pernah merasakan tekanan dari Perhutani. Hal ini didasari oleh anggapan tidak terpenuhinya sharing (bagi hasil) pengelolaan hutan yang diberikan masyarakat. “Akhirnya perhiasan milik istri dan anak diambil untuk membayar bagi hasil itu”, tutur Wawan.
Baru pada Oktober 2017, LMDH Rawa Sakti baru bisa menjalankan skema Perhutanan Sosial (PS). Namun, menurut Wawan selama peralihan menggunakan skema PS, keuntungan tidak cepat dirasakan oleh Rawa Sakti.
“Titik baliknya setelah covid, baru terasa perubahannya pada kami”, ujar Wawan.
Saat ini juga, program Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dirasa masyarakat lebih menguntungkan. Pasalnya dalam pembagian hasil yang diberikan ke Perhutani, Rawa Sakti membayarnya ketika sudah dikurangi dengan segala pengeluaran LMDH.
Menurut Wawan saat ini masih ada kekurangan yang dirasakan. “Perhutani masih kurang legowo menyerahkan konsesi hutan untuk diolah masyarakat”, ujar Wawan. Malah ada kesan memecah LMDH di Pemalang oleh Perhutani.
Wawan berharap segara ada ketegasan dalam penentuan KHDPK. Hal ini dikarenakan LMDH Rawa Sakti masih masih menggunakan SK Pengakuan Perlindungan Kerja sama Kehutanan (Kulin KK).
“Harapannya pengelolaan hutan agar bisa berpihak pada masyarakat”, tandas Wawan.
Cerita lain datang dari Gunarti yang merupakan perwakilan Sedulur Sikep. Gunarti bercerita soal masyarakat di Pegunungan Kendeng yang mengelola hutan. “Kehidupan Sedulur Sikep itu bertani, beternak dan tidak berdagang”, kata Gunarti.
Menurut Gunarti, keberadaan perusahaan semen di Pegunungan Kendeng merupakan ancaman bagi masyarakat. Eksploitasi perusahaan semen di Kendeng mengganggu aktivitas pertanian dari 2006 sampai sekarang.
Ancaman ini juga menyasar pada sumber-sumber mata air di wilayah Kendeng. “Air dari Pegunungan Kendeng mengaliri rumah-rumah kami”, kata Gunarti.
Ketika hutan di Pegunungan Kendeng hilang dampaknya begitu terasa bagi komunitas Sedulur Sikep. “Saat musim kemarau tiba, air mesti diatur dalam pembagiannya karena sulit air, sedangkan saat hujan yang berlangsung dua jam saja, Pati sudah banjir”, ujar Gunarti.
Gunarti mengatakan jika kelestarian lingkungan itu tidak bisa dipisahkan dalam pengelolaan hutan di gunung dengan lahan pertanian. Perihal pengelolaan hutan, Gunarti mengatakan jika wilayah Kecamatan Sukolilo saat ini dimasukan ke dalam program PS.
“Ada 40 hektar lahan tegalan di Sukolilo yang digarap 182 orang Kelompok Petani Hutan dan sudah mendapatkan SK PS”, tutur Gunarti.
Gunarti berharap dengan adanya program PS, para kelompok petani yang mengelola hutan di konsesi seluas 40 hektar itu juga ikut melestarikan hutan Kendeng.
Masyarakat yang mengelola hutan juga terjadi di Kasepuhan Pasir Eurih Kec. Sobang, Kab. Lebak Banten. Siti sebagai perwakilan dari Kasepuhan Pasir Eurih bercerita soal masyarakatnya yang masih teguh memegang adatnya dengan memelihara hutan.
Dalam kehidupan kasepuhan, masyarakatnya kebanyakan bekerja sebagai petani ladang dan petani sawah. Para petani selalu memasukan ritual adat dalam siklus pengelolaan lahan salah satu contohnya yaitu rukun tujuh.
Masyarakat kasepuhan juga mengatur wilayah adatnya ke dalam sistem pembagian hutan yang didalamnya termasuk sawah juga ladang. “Wilayah Kasepuhan Pasir Eurih terbagi dalam tiga wilayah yaitu Leuweung Kolot, Leuweung Tutupan dan Leuweung Garapan”, ujar Siti.
Menurut Siti, aturan adat juga menempatkan alam sebagai pemberi kehidupan bagi masyarakat kasepuhan. Sehingga masyarakat memandang sakral keberadaan lingkungan sekitar. “Kita menjalankan tradisi berarti kita melestarikan hutan”, tandas Siti.
Hariadi sebagai ahli kehutanan memberi contoh salah satu masyarakat yang berhasil pengelolaan hutan. Menurut Hariadi, saat ini merupakan masa transisi karena lahan Perhutani diambil alih pemerintah sebesar 1,1 juta hektar untuk pengelolaan hutan. “Jadi masyarakat bisa memanfaatkan keadaan ini”, kata Hariadi.
Hariadi juga menambahkan hal penting yang bisa dilakukan masyarakat agar ikut dalam pengelolaan hutan. Menurutnya, hal-hal yang bersifat lokal bisa mengoptimalkan pengelolaan lahan oleh masyarakat. Ditambah dengan adanya pengembangan secara positif dalam undang-undang pengelolaan hutan contohnya skema multi usaha Perhutanan.
Hariadi menceritakan contoh sukses masyarakat yang mengelola hutan dalam studi kasus di Lampung. Dalam penuturan Hariadi masyarakat menanami lahan hutan dengan tanaman alpukat.
Keberhasilan lahan multi usaha dalam contoh agroforestri berbasis pohon alpukat itu mampu menanam 400 batang/Ha. Hasil dari usaha itu diperkirakan mampu menghasilkan 400 juta bersih di tahun ke 4 penanaman.
Menurut Hariadi, sistem multi usaha di lahan perhutanan ini bisa menjadi sarana konservasi. Hal ini dikarenakan jenis tanaman tertentu juga punya nilai ekonomis tanpa merusak lingkungan. “Jenis varietas yang ditanam juga harus punya daya jual. Tanaman ini juga sekaligus bisa dipakai untuk sarana pelestarian hutan”, kata Hariadi.