Di tengah kondisi hutan Indonesia dalam keadaan kritis, masih ada masyarakat adat yang tetap melawan dan bertahan untuk bertindak ramah lingkungan. Warga Dusun Bunyau memiliki tradisi kuat dalam menopang kehidupan mereka. Kearifan lokal mereka telah berhasil menjaga kelestarian alam dari ancaman kerusakan hutan.
Seperti sebuah oase bagi kehidupan modern sekarang. Zaman berganti. Pergeseran sosial mengikuti. Tetapi, Suku Bunyau tetap bertahan pada tradisi. Ada Teratak di Bunyau. Sistem perekonomian dan pertanian yang disebut dengan teratak ini merupakan kearifan lokal yang penting dipelajari, dan diikuti sebagai asupan bagi setiap penjaga lingkungan. Kondisi hutan-hutan di Indonesia dalam keadaan kritis.
Tak hanya flora dan fauna terancam punah, melainkan juga manusia dan kebudayaan yang menggantungkan hidupnya dari hutan sudah lama terancam, termarginalkan, bahkan punah digerus modernisasi. Beruntung masih ada suku-suku dan komunitas masyarakat adat yang tetap melawan dan bertahan untuk bertindak ramah lingkungan. Satu di antaranya diperlihatkan warga Bunyau di Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Nilai-nilai kearifan lokal dalam tradisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya telah berhasil menjaga kelestarian alam dari ancaman kerusakan hutan.
Sekilas terlihat tidak ada yang istimewa dari Dusun Bunyau. Letak laman atau kampung ini tidak beg itu jauh dari pusat desa dan Kecam atan Menukung, sebuah kota kecil di seberang Sungai Melawi. Dusun yang dihuni suku Dayak Limbai, yang memiliki luas 4.619,42 hektar dengan jumlah penduduk 385 jiwa dari 97 kepala keluarga, itu kesehariannya sangat mengandalkan hutan untuk menopang hidupnya. Dusun Bunyau secara administrasi masuk ke dalam pemerintahan Desa Landau Leban, wilayahnya berada di bawah kaki Gunung Bunyau sebelah utara desa. Sebagian besar wilayahnya merupakan perbukitan yang subur dan sangat cocok untuk pertanian. Wilayah dusun di kelilingi oleh perkebunan karet milik penduduk, padang ilalang, rawa, hutan, serta sungai-sungai kecil. Jalan menuju ke dusun masih jalan tanah. Jika hujan deras maka jalan akan lumpuh total karena kendaraan tidak bisa lewat. Satu-satunya cara, ya berjalan kaki. Sepanjang jalan pada musim kemarau antara April-Agustus terlihat padang rumput dan semak-semak yang luas bekas ladang di kiri dan kanan jalan. Tetapi saat musim hujan, antara September-Maret, akan terlihat hamparan padi tumbuh subur yang luas.
Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan gambaran wilayah dusun ini secara umum. Tetapi sebagai bagian dari masyarakat adat Dayak Limbai, mereka secara terbuka menyatakan bahwa komunitasnya berbeda dengan komunitas lain yang tinggal di sekitar Kecamatan Menukung. Perbedaan ini terletak pada cara hidup mereka yang tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dengan memegang teguh adat istiadat dan hukum adat untuk menjaga tertib sosial demi kelestarian alam di wilayahnya. Warga Dusun Bunyau memiliki tradisi kuat dalam menopang kehidupan sistem ekonomi dan pertaniannya, yang mereka sebut Teratak. Istilah ini merupakan salah satu model pengelolaan sumber daya alam berbasis adat istiadat sebagai bagian dari watak tradisi mereka menjaga lingkungan agar tetap lestari dan berkelanjutan. Tradisi yang diwariskan secara turun-temuran ini mereka perlihatkan dalam bentuk aktivitas mengolah, mencari dan mendapatkan pangan. Semua itu diterapkan mulai dari berladang, menaman padi, menoreh damar dan menyadap karet, meramu, berburu, menangkap ikan di sungai, dan kegiatan lainnya.
Semua aktivitas yang didasari sistem Teratak ini dikembangkan dengan membentuk sistem zonasi atau pembuatan tata ruang wilayahnya. Zonasi itu terbagi masing-masing untuk rimba sebagai penyedia sumber air utama. Selanjutnya zonasi untuk lahan pertanian, ladang, memelihara ternak, kawasan berburu, mengumpulkan bahan-bahan pangan, dan lainnya. Para tetua Dusun Bunyau sejak lama telah menerapkan hukum adat dengan melarang warganya membuka lahan pertanian maupun perkebunan di Gunung Bunyau. Kawasan gunung yang masuk dalam zona hutan primer itu harus dijaga sebagai sumber penyedia air. Bertani, berladang dan lainnya, hanya diperbolehkan di kawasan hutan sekunder. Bagi warga yang melanggar akan dikenakan sanksi adat, bisa berupa pengusiran dari dusun atau denda yang besarnya telah ditentukan.
Sama seperti etnis Dayak lainnya, warga Bunyau juga menerapkan metode gilir balik atau mengistirahatkan lahan. Mereka berharap lahan yang ditinggalkan dapat memperbaiki struktur tanah, agar dapat kembali subur. Dengan demikian, dalam jangka waktu tertentu, mereka dapat kembali mengolah lahan tersebut. Tradisi dalam mengolah lahan tidak secara serampangan. Pengolahan lahan pertama-tama dilakukan dengan menebas rumput dan semak belukar menggunakan parang dan beliung. Sedangkan menebang pohon kayu yang ada di lahan itu dilarang. Seluruh kegiatan dilakukan secara bergotong royong atau biasa mereka sebut berari-ari. Sebelum pembukaan lahan dilakukan, mereka menggelar upacara adat atau ritual khusus yang dipimpin para tetua adat. Hal ini dimaksudkan agar mendapat restu dan keselamatan dari Sang Pencipta, serta terhindar dari bahaya dan keserakahan hati manusia. Setelah lahan dibersihkan, bekas tebasan rumput dan semak dibiarkan mengering, kira-kira selama tiga minggu. Kemudian barulah semak-semak bisa dibakar.
Dalam cara membakar lahan, warga Bunyau menggunakan sistem tradisional yang cukup aman dan ramah lingkungan. Semua ini untuk mencegah api, agar tidak menjalar ke tempat lain. Mereka melakukannya dengan cara membariskan rumput di sekeliling ladang dengan lebar kira-kira dua meter. Lalu, mereka mengumpulkan rumput kering untuk disusun memanjang yang disesuaikan dengan arah angin dan selanjutnya baru dibakar. Api pun takkan menjalar ke mana-mana. Ritual adat kembali digelar, sebelum menanam tumbuhan pangan maupun menanam padi atau istilahnya menugal. Melalui tradisi berladang yang diwariskan para tetuanya, komunitas ini berhasil mengembangkan padi lokal yang sangat tahan terhadap hama tanaman. Jenis yang mereka tanam merupakan jenis padi lokal yang diwariskan secara turun-temurun oleh orang tua mereka, seperti padi linuh, bidau, rugu, nilon, ketapang serta jenis padi merah (mayan) dan padi hitam (kelinti). Semua jenis padi ini hanya dapat ditanam di ladang. Untuk padi rugu dan kelinti juga bisa ditanam di sawah. Jenis padi ladang ini memiliki masa tanam antara 6-7 bulan atau hanya dapat ditanam satu kali dalam setahun. Semua tahapan dikerjakan dengan cara dan menggunakan alat-alat tradisional. Sama sekali tidak menggunakan peralatan modern. Begitu pula dengan bahan kimia atau pestisida. Mereka khawatir, penggunaannya dapat merusak struktur tanah. Hasil panen padi dapat mencapai 2-3 ton dalam satu kali panen.
Kemaslahatan
Selama menunggu panen, warga melakukan aktivitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menoreh damar, menyadap karet, berburu, menangkap ikan, dan lainnya. Semuanya dilakukan di tiap zonasi yang telah ditentukan. Seluruh flora dan fauna yang memberikan kemaslahatan bagi masyarakat Dayak Limbau ini mendapatkan perlakuan baik. Perlakuan masyarakat Dayak Limbai terhadap aneka tumbuhan dan satwa itu menyiratkan kearifan mereka di dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi. Mereka anggap merupakan simbol Sang Penguasa. Beberapa jenis hewan ini dianggap sebagai “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang).
Dalam aktivitas berburu pun mereka menggunakan beberapa alat tangkapan tradisional, seperti jerat, dondang (sejenis tombak pelontar), rangkep (perangkap), dan lain-lain. Begitu pula dalam menangkap ikan. Alat-alat ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan. Semua aktivitas pengusahaan alam didasarkan pada pemahaman dan pemikiran demi kepentingan generasi setelahnya. Alam yang merupakan ruang hidup bagi warga Bunyau adalah napas. Begitu lekatnya hubungan suku Dayak Limbai ini dengan alamnya, sehingga alam juga dipandang layaknya seorang ibu yang harus dihormati, dimuliakan, dan dirawat dengan penuh kasih. Komunitas ini berpandangan bahwa alam beserta isinya bukanlah sebuah benda mati semata. Di dalam perspektif etnoreligi Dayak Limbai, semua benda alam memiliki semacam ruh atau jiwa yang tidak terbatas pada sesuatu yang bergerak atau bernapas. Semua yang diciptakan Tuhan, baik berupa benda hidup maupun benda mati, menjadi keharusan untuk diperlakukan secara baik. Warga Bunyau menilai alam sebagai “titipan atau pinjaman”dari Sang Pencipta. Oleh karenanya, mereka hanya mengelola alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, karena alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan. Persepsi alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka warga Bunyau hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan memenuhi kebutuhan hidup.
Masyarakat adat Dayak Limbai ini mencintai kehidupan yang bersahabat dengan alam dan lingkungan. Mereka memilih menjaga tradisi, adat istiadat, kebudayaan, dan lingkungan hidupnya untuk keberlangsungan mendatang, ketimbang merusak demi meraih pundi-pundi uang.
Hal ini pernah mereka perlihatkan, ketika hutan primer Gunung Bunyau dirambah perusahaan kayu. Warga dengan gigih melakukan berbagai upaya, agar hutan adatnya tetap lestari dan tidak dirusak pengusaha hutan. Melalui jalan cukup panjang dan berliku, perjuangan mereka tidak sia-sia. Perusahaan itu pun mundur dan tidak meneruskan usahanya di kawasan hutan Gunung Bunyau. Kawasan rimba Gunung Bunyau itu mereka anggap harus tetap dipertahanakan, karena untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang berasal dari sumber mata air di sana. Warga dalam menjaga sumber air juga melakukan perawatan dan perbaikan pada saluran dengan membuat tanggul. Air dari tanggul ini juga dimanfaatkan untuk mengairi lahan persawahannya. Dalam proses itu, warga melakukan bersama secara gotong royong.
Hasil Penelitian
Menurut Manajer Program Hukum dan Keadilan Lingkungan, Epistema Institute, Mumu Muhajir, suku Dayak Limbai di Dusun Bunyau, pada dasarnya memiliki cara pengolahan lahan perkebunan pangan yang diwariskan dari orang tua mereka terdahulu. Hasil penelitian tim Epistema Institute memperlihatkan bahwa sistem Teratak berjalan cukup baik dalam menjaga kelestarian alam. pemukiman terkecil di bawah Laman atau Kampung, yang dihuni oleh keluarga-keluarga besar yang terikat berdasarkan pertalian darah ataupun perkawinan. Teratak diyakini merupakan bentuk pemukiman pertama dari suku ini pascasejarah migrasi panjang, masa kolonial sekitar abad 16-18 Masehi. Para pemimpin keluarga mengajak keluarga-keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah atau perkawinan mencari tempat pertanian yang subur, kemudian mereka sebut sebagai Teratak. Selanjutnya, mereka menetapkan kawasan itu sebagai wilayah adat orang Limbai Bunyau dan Plaik Kruap. Dalam Teratak inilah kemudian keluarga-keluarga besar utama Suku Dayak Limbai di Bunyau melengkapi zonasi atau kawasan-kawasan perladangan, pertanian pangan serta padang penggembalaan ternak. Selanjutnya, para tetua mengatur bentuk pembagian kerja kepada seluruh anggota keluarga dan menerapkan hukum adat sebagai alat penjaga tertib sosial. “Fakta yang terlihat saat ini, model pengelolaan sumber daya alam berbasis komunitas dari kelompok ini, ternyata mampu mengubah persepsi dari peladang yang dianggap merusak lingkungan, justru menjadi komunitas yang berdaya secara ekonomi dan ahli dalam menjaga lingkungan,” Mumu menjelaskan.
Penerapan sistem Teratak ini, juga mampu mengubah stereotip masyarakat lokal dan adat dari perilaku masyarakat barbar dan pelaku pelanggar hukum, menjadi masyarakat yang beradab dan ramah lingkungan. Sebab, mereka menggunakan hukum adat sebagai jalan membentuk tertib sosial di wilayahnya. “Warga dalam Dusun Bunyau telah berhasil membuat komunitas tentang pentingnya mempertahankan hutan dan Guning Bunyau sebagai kawasan sumber kehidupan bagi kampung mereka. Warga pun menyusun strategi menjaga kelestarian lingkungan dengan menyandingkan nilai-nilai kearifan lokal menjadi bagian dari identitas orang Bunyau,” papar Mumu. Kehidupan masyarakat adat di Indonesia dengan kearifan lokal yang diwariskan dari leluhurnya, berhasil menjaga alam dan hutan sebagai tempat mereka mengggantungkan hidup. Warga Dusun Bunyau telah saling bekerja sama dengan alam untuk menciptakan lingkungan menjadi lebih baik. Hal itu dilihat dari sikap, perilaku, dan pandangan hidup mereka terhadap alam. Selama ini, masyarakat adat dianggap hidup tertinggal, ekonomi rendah dan terbelakang ilmu pengetahuan, ternyata memiliki kekuatan tinggi menghormati alam dan lingkungan hidup. Perjuangan menjaga alam makin berat, saat banyak izin diberikan kepada pemodal yang menyulap hutan menjadi perkebunan sawit maupun kayu hingga pertambangan.
Sumber : http://greenlifeinspiration.com/?p=64