Oleh Sapariah Saturi, February 8, 2013
Menyikapi begitu banyak konflik agraria di Indonesia, sekitar 130 an akademisi dari berbagai perguruan tinggi membuat petisi kepada Presiden RI, Kamis (7/1/13) di Jakarta. Dalam petisi itu, ada 11 poin usulan yang meminta Presiden turun tangan dalam penyelesaikan konflik-konflik ini. Pada kesempatan itu, juga terbentuk Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria yang dimotori oleh para akademisi, peneliti dan pemerhati studi agraria.
“Konflik ini sudah jadi kejadian luar biasa, yang harus disikapi dengan cara-cara luar biasa agar selesai. Presiden yang bisa selesaikan,” kata pengagas petisi sekaligus sekretaris forum dan Ketua Epistema Institute, Myrna Safitri. Myrna doktor dari Leiden University, Belanda.
Menyadari konflik yang kian menggila di mana-mana, para akademisi berpikir melakukan sesuatu bersama-sama, dan bersatu. “Kami saling dukung sampaikan usulan pada Presiden. Konflik sudah extraordinary,” kata Maria S.W. Sumardjono, guru besar Universitas Gadjah Mada.
Ke-11 usulan isi petisi itu antara lain, meminta Presiden membentuk sebuah lembaga independen penyelesaian konflik agraria yang bersifat massif dan berdampak luas baik di masa lalu dan masa kini dengan tuntas.
Saat ini, kata Maria, konflik coba diatasi hanya di permukaan. Namun, akar konflik tak pernah tersentuh dan diungkap jalan keluarnya. “Jadi tak mengada-ngada kalau Presiden mempertimbangkan membentuk lembaga independen yang punya tugas menyelesaikan konflik agraria yang sudah luar biasa berdampak pada sosial, politik sampai pelanggaran HAM. Ini yang perlu diselesaikan lembaga ini.”
Lembaga seperti ini, sebenarnya sudah diamanatkan dalam Tap MPR No 9 Tahun 2001 tetapi belum pernah dilaksanakan. Para pakar ini meminta Presiden menugaskan Menteri Hukum dan HAM memimpin pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan bidang pertanahan dan sumber daya alam. Lalu pengkajian ulang terhadap kebijakan perizinanatau pemberian hak, sekaligus moratorium pemberian izin/hak selama masa pengkajian ulang.
Kemudian, menugaskan Kepala BPN RI meninjau ulang alas hak penguasaan tanah dari perusahaan yang berkonflik dan menindak tegas semua pelanggaran terkait pemberian hak atas tanah yang berindikasi tindak pidana.
Mereka juga mendesak penerbitan instruksi Presisen (Inpres) khusus minimalisasi konflik, dengan tidak menggunakan pendekatan keamanan. Presiden juga didesak merevisi Inpres Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri.“Karena dengan pendekatan keamanan bukan konflik tuntas tapi malah meluas ke mana-mana.”
Presiden diminta memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI mengusut tuntas tindak kekerasan aparat Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis LSM. Juga menghentikan penggunaan cara-cara kekerasan oleh aparat dan membebaskan aktivis LSM warga masyarakat hukum adat, petani dan nelayan yang saat ini ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian.
Apakah hanya sebatas petisi? “Kami sebagai suatu forum bersama tak berhenti tak hanya sampaikan surat ini pada Presiden. Kami juga bentuk kelompok-kelompok kerja,” kata Maria. Kelompok kerja ini mempunyai jadwal kegiatan terprogram mendorong Presiden lebih mudah menindaklanjuti surat ini.
Forum akan menyiapkan dan mengawal peraturan-peraturan Presiden yang diperlukan guna mewujudkan butir-butir usulan yang disampaikan. “Jadi, cerita ini tak akan berakhir di ruang ini. Masih ada kerja-kerja yang dilakukan secara transparan, tujuan mengawal konflik bisa diselesaikan.”
Soerya Adiwibowo, Doktor Politik Lingkungan dari Universitas Kassel, German, juga Ketua Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria mengatakan, masalah agraria tak bisa selesai dalam dua tahun. “Jadi, jika ada yang mengganggap petisi atau forum ini ada motif politik menjelang 2014, itu tidak sama sekali.”
Penyelesaian konflik agraria ini sudah lama diperjuangkan baik oleh para aktivis maupun akademisi secara perorangan. “Sekarang ini berkumpul untuk beri konsern lebih luas,” ucap Soerya.
Di banyak tempat, di berbagai negara, katanya, konflik-konflik agraria tak hanya membelah komunitas tetapi juga bisa membelah negara. “Di Indonesia yang kaya sumber daya alam ini, persoalan ini bisa saja terjadi.” Dengan membuahkan petisi ini, sebagai bentuk kepedulian para akademisi dan pakar. “Tentu, ini harus terus dikawal dan ingatkan kepada pemerintah.”
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) ada sekitar 8.000 konflik pertanahan belum terselesaikan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menemukan sekitar 1.700 konflik agraria; Sawit Watch menyebutkan sekitar 660 kasus di perkebunan sawit. Begitu juga Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyebut konflik agraria sektor perikanan sepanjang 2012 melibatkan sekitar 60 ribu nelayan.
Kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani pun terjadi mengiringi konflik-konflik agraraia ini. Tahun lalu, sekitar 156 petani ditahan tanpa proses hukum benar, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tiga orang tewas.
Para akademisi ini berpendapat, konflik agraria selama ini karena beberapa faktor, antara lain karena reformasi hukum dan kebijakan komprehensif belum dilaksanakan, diindikasikan oleh beberapa hal. Pertama, ada beberapa ketentuan dalam UU bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan tentang sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup.
Ketiga, ketidaksinkronan antara peraturan perundangan-undangan SDA dan lingkungan dengan peraturan yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Keempat, banyak peraturan daerah bersifat eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek.
Faktor lain, kebijakan dan praktik penerbitan izin, khusus bagi usaha skala besar. Selama ini, belum mengindahkan prinsip hukum dan tata kelola yang baik, sarat korupsi, tidak mengakui hak-hak masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal. Juga petani dan nelayan, terutama mereka yang tidak bertanah serta membatasi akses mereka terhadap tanah dan SDA
Lalu, terdapat konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang atau badan hukum yang mengakibatkan kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah menjadi lebar. Begitu pula ada sejumlah perjanjian investasi dan perdagangan bilateral dan multilateral berseberangan dengan semangat keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup.
Gerakan akademisi ini bersifat independen, sukarela dan semata-mata didasarkan pada tanggung jawab sosial untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejumlah guru besar bergabung ke dalam gerakan ini seperti Prof. Sediono Tjondronegoro, Prof Gunawan Wiradi, Prof Maria Sumardjono, Prof Hariadi Kartodihardjo. Pendukung aktif gerakan ini juga sejumlah dosen, peneliti dari LIPI dan lembaga penelitian lain.