Keberadaan Lembaga P3H berpotensi kuat mengkerdilkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal kini, KPK tengah gencar melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan korupsi di sektor sumber daya alam khususnya kehutanan.
***
Akhir bulan lalu, rasa keadilan publik kembali terusik tatkala Nenek Asyani (63) di Situbondo divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Situbondo atas tuduhan mencuri kayu Perhutani. Majelis Hakim mengamini tuntutan Jaksa Penuntut Umum, bahwa Nenek Asyani terbukti bersalah melanggar Pasal 12d juncto Pasal 83 ayat 1a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).
Tidak hanya Nenek Asyani, sejak UU P3H diterbitkan, hingga saat ini sudah 53 (lima puluh tiga) warga menjadi pesakitan di Pengadilan. Kemudian, 43 (empat puluh tiga) diantaranya telah diputus bersalah dengan rata-rata hukuman 18 bulan penjara. Jika dilihat dari latar belakang profesi para terpidana, semuanya merupakan individu, terdiri dari: 7 orang buruh, 26 orang petani, 1 orang pialang, 9 orang sopir, 8 orang swasta, 1 orang tukang kusen, 1 orang awak kapal. Dari keseluruhan perkara tersebut,jumlah prosentase kriminalisasi terhadap petani mencapai 43%.
Masalahnya, ternyata tidak ada satupun korporasi yang berhasil dijerat oleh UU P3H ini. Kejahatan terorganisir yang menjadi sasaran dari UU P3H juga tak Nampak dari perkara-perkara yang sudah diputus tersebut. Padahal UU P3H diterbitkan utamanya adalah untuk menjerat kejahatan-kejahatan terorganisir di sector kehutanan.
Angka kriminalisasi terhadap petani, masyarakat dan individu lainnya akan semakin bertambah, mengingat sebagian besar masyarakat Adat tinggal berbatasan atau di dalam kawasan hutan, terutama masyarakat hukum adat. Sedangkan salah satu pasal dalam UU P3H, melarang setiap orang membawa peralatan yang dapat diduga digunakan untuk menebang pohon, bagi pelanggarnya akan dipidana sebagaimana diatur dalam UU P3H.
Kini, Pemerintah bukannya mengkaji ulang keberadaan UU P3H, namun justru sibuk merumuskan Lembaga P3H, sebagaimana mandat Pasal 54 jo. Pasal 111 UU P3H yang mengharuskan dibentuknya Lembaga P3H dalam 2 (dua) tahun setelah UU P3H diundangkan. Seharusnya, pertimbangan faktual menjadi alasan bahwa Lembaga P3H sudah tidak layak untuk dibahas, sebab UU P3H terbukti gagal, bahkan secara norma bertentangan dengan Konstitusi.
Parahnya lagi, keberadaan Lembaga P3H ini, berpotensi kuat mengkerdilkan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal kini, KPK tengah gencar melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan korupsi di sektor sumber daya alam khususnya kehutanan. Apabila, Lembaga P3H dibentuk, maka dikhawatirkan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK akan terhambat, karena sangat mungkin jika kasus korupsi yang berkaitan dengan perusakan hutan akan ditarik proses penyidikannya ke LP3H. Hal ini pun akan menambah konflik antar aparat penegak hukum. Kemudian, apabila dikaitkan dengan kebijakan Pemerintah Jokowi, yang membubarkan 10 Lembaga Negara Non-Struktural melalui Pepres No. 176 Tahun 2014, Presiden menganggap keberadaan lembaga-lembaga tersebut secara fungsi sudah dimiliki lembaga lain (Kementerian, Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK misalnya), serta keharusan untuk melakukan efisiensi anggaran. Sehingga, mengacu pada pemikiran tersebut sudah seharusnya pembentukan Lembaga P3H ini ditinjau ulang kembali, khususnya mengenai efektivitas lembaga tersebut.
Sejalan dengan itu, Tim Advokasi Anti Mafia Hutan, mewakili petani, masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil, pada bulan September 2014 lalu telah mengajukan uji konstitusionalitas atas UU P3H ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap permohonan ini, Mahkamah Konstitusi telah melakukan serangkaian persidangan, namun sampai kini belum juga memutus perkara tersebut, sehingga potensi kriminalisasi petani, dan masyarakat sekitar hutan semakin tinggi.
Beranjak dari kondisi di atas, kami dari Koalisi Anti Mafia Hutan merekomendasikan dan mendesak:
Pemerintah untuk menghentikan pembahasan pembentukan Lembaga P3H sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Uji Konstitusionalitas UU P3H;
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, untuk segera membatalkan seluruh UU P3H;
POLRI dan KLHK untuk meminta jajaran penyidiknya menghentikan proses kriminalisasi terhadap rakyat , karena berpotensi menghambat proses realisasi 12,7 Juta hektar Hutan Untuk Rakyat yang diprogramkan Presiden Jokowi.
Pernyataan Koalisi Anti Mafia Hutan, 7 Mei 2015
WALHI, PIL-Net, ICW, AMAN, Sawit Watch, KPA, HuMa, AURIGA, Epistema, Yayasan Pusaka, ELSAM, Konsorsium Pembaharuan Agraria, Greenpeace Indonesia, Institute ECOSOC, FITRA.