Epistema Institute menyelenggarakan kegiatan diskusi pertukaran pengalaman pemerintah daerah dalam melakukan pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, Kamis (2/4/2015) kemarin.
“Kegiatan ini dilakukan untuk menjalin komunikasi dan pembelajaran bersama di antara pemerintah daerah dan DPRD yang sudah dan sedang memiliki inisiatif membentuk regulasi dan kebijakan daerah mengenai wilayah adat dan wilayah kelola rakyat,” ungkap Manager Hukum dan Masyarakat, Epistema Institute, Yance Arizona.
Inisiatif itu antara lain seperti yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang setelah memiliki Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Tanah Ulayat Masyarakat Baduy, saat ini sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Kasepuhan. Pemerintah Kabupaten Kerinci juga telah memiliki sejumlah Surat Keputusan Bupati mengenai keberadaan hutan adat yang lokasinya berada di luar kawasan hutan dan memasukkaanya ke dalam Perda 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci.
Pemerintah Kabupaten Sigi telah pula membuat Perda No. 15 tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sementara itu Pemerintah Daerah di Kabupaten Barito Selatan telah membentuk Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Barito Selatan, Keputusan Bupati Barito Selatan No. 606 Tahun 2007 tentang Penunjukan Lokasi Pemanfaatan Hutan Hak di Desa Bintang Ara Kecamatan Gunung Bintang Awai serta pembentukan Tim IP4T untuk melaksanakan Peraturan Bersama Menteri yang disebutkan di atas.
Dalam pertemuan ini, Ketua DPRD Kabupaten Lebak Junaedi Ibnu Jarta, S.Hut, menyampaikan bahwa Perda Masyarakat Kasepuhan merupakan salah satu langkah untuk menyelesaikan konflik kehutanan di Kabupaten Lebak dikarenakan adanya perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci H. Martias, menyampaikan bahwa keberadaan hutan adat di Kabupaten Kerinci telah diakui oleh pemerintah sejak tahun 1993. Hal itu dilakukan untuk mengakomodir harapan masyarakat untuk melindungi wilayah hutan adatnya. Lebih lanjut, Neneng Susanti dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kerinci menyampaikan bahwa saat ini sudah ada 10 Surat Keputusan Bupati tentang Hutan Adat di Kabupaten Kerinci dan peta hutan adat pun sudah dimasukan ke dalam Perda No. 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci.
Salah satu yang unik di Kabupaten Kerinci adalah keberadaan hutan adat yang tidak berada di dalam kawasan hutan. Pengalaman di Kerinci menunjukan bahwa kekhawatiran sebagian pihak yang mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara akan membuat kondisi hutan semakin rusak. Kerinci dapat menjadi contoh mengenai pengelolaan hutan adat yang berada di luar kawasan hutan negara.
Asisten II Pemerintah Pemda Kabupaten Barito Selatan Suhardi, menyampaikan mengenai pembentukan Tim IP4T untuk melakukan penyelesaian terhadap masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Barsel merupakan laboratorium untuk pengakuan dan pembuktian hak masyarakat di dalam kawasan hutan. Kegiatan ini penting untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena penetapan kawasan hutan yang selama ini menimbulkan berbagai masalah. Tim bekerja untuk sosialisasi dan sudah ada anggaran sebanyak 1 miliar. Rencana aksi sudah disusun dan sekarang sosialisasi untuk kemudian menerima pendaftaran klaim. [rel]
Sumber : http://greenjournalist.net/kebijakan-lingkungan/belajar-dari-daerah-untuk-pengakuan-wilayah-adat/