PerspektifNews, Padang – Untuk melindungi dan mengembalikan tanah ulayat dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang baru dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Hal ini terungkap dalam Seminar Sehari yang diadakan Epistema Institute dan Perkumpulan QBAR pada Kamis lalu (14/3). Seminar yang membahas Penguatan Hak Ulayat dalam Kebijakan dan Putusan Pengadilan di Sumatera Barat tersebut menghadirkan pembicara Asnawi Bahar (Ketua KADIN Sumbar), Dr. Kurnia Warman (Dosen FH Univ. Andalas), Sahnan Sahuri Siergar (Pengacara Publik), Luzron Lamujin ( Tokoh Adat Sungai Kamunyang) dan Akmal (LKAAM Sumbar).
Dalam seminar tersebut juga dibahas mengenai Peraturan Gubernur Sumatera Barat No 12 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Selain itu juga dibahas mengenai Putusan Pengadilan Negeri Payakumbuh dalam perkara PT. Jenyta Ranch vs Nagari Sungai Kamunyang.
Menurut Sahnan Sahuri, konflik tanah ulayat di Sumatera Barat menjadi persoalan purba yang diwarisi sampai sekarang. “Konflik itu tidak saja terjadi karena datangnya perusahaan yang difasilitasi oleh pemerintah yang mencaplok tanah ulayat, tetapi juga terkait konflik antara satu nagari dengan nagari lainnya,” katanya.
Dukungan pemerintah terhadap perusahaan juga pada akhirnya menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat. “Namun tidak jarang konflik tersebut juga berujung pada kekerasan yang dialami oleh masyarakat karena pemerintah mengerahkan aparat kepolisian untuk menghadapi masyarakat,” kata Rustam dari Serikat Petani Indonesia (SPI).
Sahnan juga menyampaikan masyarakat jarang sekali menang bila berhadapan dengan perusahaan, karena pengadilan masih berpandangan sangat positivistik. Kalaupun ada masyarakat menang seperti dalam Putusan PN Payukumbuh dalam perkara HGU PT. Jenyta Ranch Vs Nagari Sungai Kamunyang, putusan pengadilannya belum menyelesaikan inti persoalan karena tegas menyatakan tanah yang disengketakan itu adalah tanah ulayat Nagari Sungai Kamunyang.
Sementara Akmal menyebutkan bahwa “terperkosanya” hak ulayat di Sumatera Barat terjadi karena tidak ada identifikasi terhadap di mana tanah ulayat itu berada. Untuk itu dibutuhkan peta tanah ulayat agar ada kepastian.
Selain itu, persoalan yang terjadi juga disebabkan adanya kekeliruan dalam menerjemahkan silih jariah yang dipersamakan dengan ganti rugi. “Padahal siliah jariah bukanlah ganti rugi yang bisa dijadikan sebagai tanda pelepasan hak. Berbagai macam manipulasi telah membuat masyarakat kehilangan tanah ulayat,” kata Akmal.
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat merespon persoalan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan terkait hak ulayat dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur No 21 tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. “Pergub tersebut merupakan aturan operasional dari Perda No 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pergub tersebut mencoba memecahkan kebuntuan peraturan yang selama ini belum ada yang mengatur pemulihan tanah ulayat,” kata Kurniawarman dari Fakultas Hukum Univ. Andalas.
Bahkan, menurutnya, di dalam Pergub itu ada bab khusus tentang Pemulihan Tanah Ulayat. Pemulihan tanah ulayat itu dilakukan dengan cara pengembalian tanah ulayat bekas HGU kepada masyarakat sebagai implementasi dari pendelegasian kewenangan penguasaan tanah oleh negara kepada masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA.
Sementara itu, Asnawi Bahar (Ketua KADIN Sumbar) menyatakan bahwa dari sisi aturan sebenarnya sudah sangat baik. Perusahaan pun hadir dengan patuh hukum ketika datang untuk melakukan penanaman modal.
“Bahkan perusahaan datang ke masyarakat dengan misi untuk mendatangkan pembangunan. Tidak ada perusahaan yang datang ke suatu tempat untuk berkonflik dengan masyarakat,” katanya.
Ia pun menambahkan bahwa persoalan lebih banyak pada tahapan implementasi yang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang bermain di lapangan.
Yance Arizona dari Epistema Institute menyampaikan bahwa Pemerintah Sumatera
Barat sudah cukup maju dalam pengembangan regulasi untuk penguatan hak ulayat, tapi persoalannya ada pada tahapan operasional.
“Meskipun Perda Sumbar No 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya telah memerintahkan dilakukannya pendaftaran tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum, namun lima tahun perda itu berlaku, belum sejengkal pun tanah ulayat yang sudah didaftarakan,” katanya.
Menurutnya, hal itu terjadi karena kantor pertanahan, yang merupakan pelaksana pendaftaran tersebut, tidak memiliki peraturan untuk operasionalisasi pendaftaran tanah ulayat. Oleh karena itu, perlu juga mendorong BPN memiliki aturan yang baru untuk melakukan pendaftaran tanah ulayat, dan juga untuk mengatur pengembalian tanah ulayat yang selama ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan dalam bentuk HGU.
“Tanpa ada sinkronisasi dengan BPN yang merupakan instansi vertikal dalam urusan pertanahan, Pergub yang baru ini bisa mengalami hal yang sama dengan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat, yaitu sama-sama tidak dapat dilaksanakan di lapangan,” katanya menambahkan. (Daus)
Sumber : http://www.perspektifnews.com/574/dibutuhkan-regulasi-untuk-pengembalian-tanah-ulayat/