HUTAN ADAT
Manfaatkan Momentum Penetapan
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan 13.122 hektar hutan adat di pengujung tahun 2016 diharapkan menjadi momentum mereplikasi ruang kelola serupa. Capaian awal itu jauh dari luas hutan adat sekitar delapan juta hektar, seperti dipetakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
Pemerintah pusat didesak aktif mendorong pemerintah daerah mendata dan memverifikasi masyarakat hukum adat beserta ruang kelolanya. Pengakuan formal dari pemerintah daerah diperlukan sebagai dasar bagi pusat mengeluarkan hutan adat dari hutan negara.
“Pengakuan dari Istana kemarin itu pembuka bottle neck. Kemarin juga jadi momen yang memberi energi atau semangat besar bahwa pengakuan hutan adat itu bisa dilakukan,” kata Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Selasa (3/1), di Jakarta.
Diberitakan, 30 Desember 2016, Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, menyerahkan sembilan wilayah hutan adat (Kompas, 31/12/2016). Pengelolaan hutan dikembalikan kepada masyarakat adat.
Abdon mengatakan, pengakuan total 13.122 ha hutan adat oleh Presiden baru sebagian kecil dari total 8,23 juta ha hutan adat yang dipetakan AMAN. Ia berharap langkah pengakuan itu diteruskan juga pada masyarakat adat lain di seluruh Indonesia.
Mahkamah konstitusi
Pengakuan itu kian didesakkan setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara atas UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Majelis Hakim MK pun memutuskan Pasal 67 UU Kehutanan tetap dipakai selama belum terbit perundangan terkait pengakuan masyarakat hukum adat.
Pada Pasal 67 UU Kehutanan, pengakuan hutan adat bisa dilakukan pada masyarakat adat yang diakui dalam peraturan daerah. Itu yang jadi konsideran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara.
Selain pasal 67, kata Abdon, ada tiga jalur lain: Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52/ 2014 (Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat), Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) No 10/2016 (Tata Cara Penetapan Hak Komunal), dan UU Desa.
“Peraturan Menteri Dalam Negeri itu cukup jadi dasar bupati/wali kota menerbitkan keputusan/ketetapan pengakuan masyarakat adat dan hutannya. Prosesnya tak semahal ongkos politik menyusun perda,” katanya.
Abdon juga menyebut Permendagri telah digunakan KLHK sebagai dasar penyerahan hutan adat Tigo Luhah Kemantan di Jambi. Tahun ini, AMAN akan mencoba prosedur Peraturan Menteri ATR dan UU Desa.
Langkah berani
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Epistema Institute Luluk Uliyah mengatakan, pengakuan hutan adat langkah berani dan komitmen pemerintah menjaga keseimbangan ekologis dan keadilan sosial bagi masyarakat hukum adat. Sejak awal, bangsa ini telah mengakui kehadiran Masyarakat Hukum Adat berikut tatanan nilai yang hidup dan dijalankannya dalam UUD 1945, termasuk pengelolaan hutan.
Epistema bersama Huma dan beberapa organisasi masyarakat sipil menyatakan, mandat UUD itu belum dijalankan. Lebih dari 71 tahun masyarakat adat tak diakui keberadaannya mengelola ruang dan sumber daya hutan.
Akibatnya, hilangnya identitas masyarakat. Mereka tak dapat mempraktikkan kearifan lokalnya, yang berujung menurunnya kualitas hutan yang berdampak bencana ekologis dan sosial.
Dua pertiga masyarakat hukum adat hidup di desa di dalam dan sekitar kawasan hutan. Namun, wilayah itu berubah menjadi kantong kemiskinan. (ICH)
—-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2017, di halaman 14 dengan judul “Manfaatkan Momentum Penetapan”.