Jakarta/Lei – Masyarakat adat merupakan pemilik awal sejumlah wilayah-wilayah negeri ini yang hadir sebelum NKRI berdiri, termasuk sebagai pemilik tanah adat yang diwariskan secara turun temurun kepada mereka, menurut Prof. Dr. Esmi Warrasih Pujirahayu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, dalam diskusi yang digelar Lembaga Studi Hukum Indonesia.
Diskusi bertajuk “Implikasi Hukum Atas Pengakuan Hutan Adat Oleh Pemerintah Terhadap Hak Pemegang Konsesi Perkebunan”, Rabu (15/3/2017), mengupas pengaruh pasca keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang salah satu putusannya mengembalikan hak masyarakat hukum adat atas tanah adat.
Esmi mengatakan bahwa masyarakat adat sejak lama telah memiliki aturan yang mereka kembangkan sendiri di dalam komunitas sosial mereka.
“Masyarakat sudah punya hukum, bahkan hukumnya sangat memanusiakan manusia. Dan, mereka hanya mengambil sekedarnya untuk kebutuhan hidup. Mereka juga ikut memelihara bumi ini,” kata Esmi, menggambarkan bumi menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat.
Meski keputusan MK sudah meniadakan kepemilikan negara atas tanah milik masyarakat adat, namun menurut Esmi, ia menemukan sejumlah inkonsistensi di dalam UU Perkebunan bahkan ketidakadilan bagi masyarakat adat.
“Pasal 12 itu menyakitkan, karena harus musyawarah untuk imbalan dan seterusnya. Seolah-olah masyarakat adat itu cukup nanti kasih imbalan oleh perkebunan, itu sudah dianggap musyawarah. Nah, ini agak repot juga,” kata Esmi.
Ia mendesak pemerintah bisa merangkul masyarakat adat sebagai mitra setara saat melakukan musyawarah, dan tidak menjadi objek belaka.
Sementara itu, Ir. Petrus Gunarso dari Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) mempertanyakan pengelolaan administrasi pertanahan di Indonesia.
Dengan mengistilahkan “pecah telor” pasca penetapan MK soal pengembalian tanah adat kepada masyarakat adat, Petrus Gunarso mengkhawatirkan akan terjadi masalah-masalah baru di lapangan bila pemerintah tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan administratif atau cenderung hanya menyelesaikan pada tataran politis belaka.
“Negara belum nata, belum ngatur siapa itu yang mengadministrasi, pemerintahnya di mana? Belum ditunjuk sekarang. Apakah di Menteri Desa? Apakah di Menteri BPN, ATR/BPN? Menteri Kehutanan? Atau Mendagri? Gitu ya. Ini belum ditunjuk sampai hari ini,” jelas Petrus Gunarso.
“Jadi telor sudah dipecah, tapi belum ada lanjutannya. Ini berbahaya menurut saya,” tambahnya lagi.
Ia mendesak pemerintah menyiapkan peta jalan bagi keputusan MK yang telah membebaskan lebih dari 13 ribu hektare lahan milik tanah adat untuk menghindari kemungkinan perselisihan di masa depan. Ia mengingatkan adanya kemungkinan perselisihan tersebut dengan mencontohkan dua desa yang sama-sama memiliki hutan adat yang sama.
“Kita berbicara mengenai spasial, keruangan, dan juga berbicara mengenai administrasi desa. Ini beda lagi. Ini siapa yang ngurus.”
Ia juga meminta pemerintah benar-benar menjalankan pasal 33 UUD 1945, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Malik dari Epistema Institute sebagai narasumber ketiga menyepakati pandangan dua narasumber dan meminta agar pemerintah dan dunia usaha memandang masyarakat adat sebagai subjek pembangunan, sebagai mitra pengambilan kebijakan, tidak hanya dijadikan sekadar objek belaka.
Malik menjelaskan bahwa masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah mengambil inisiatif untuk mendata tanah-tanah adat yang di tanah air.
“Mereka berinisiatif membentuk namanya Badan Registrasi Wilayah Adat. Walaupun tidak diakui pemerintah, tapi paling tidak yang secara informal sudah mulai mencatatkan. Jadi, semua yang sudah diverifikasi, validasi, yang sudah terbukti di lapangan dan masyarakatnya sudah jelas, kemudian diverifikasi ke Badan Registrasi Wilayah Adat,” kata Malik.
Malik juga mendesak pemerintah dan dunia usaha tidak lagi melanggar hak-hak masyarakat adat pada pembukaan perkebunan berikutnya.