[Jakarta, 29 Juli 2015] Percepatan pengakuan terhadap masyarakat adat penting untuk dilakukan. Ini sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo. Komitmen tersebut juga sejalan dengan deklarasi 29 Kementerian dan Lembaga dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa salah satu upaya penyelamatan sumber daya alam adalah memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat di seluruh Indonesia, agar hak-hak mereka dilindungi sehingga dapat memberikan jaminan untuk memanfaatkan sekaligus melindungi sumber daya alam di wilayahnya.
“Penyusunan Raperda pengakuan masyarakat Kasepuhan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten ini mendesak dilakukan untuk melaksanakan Putusan MK No, 35/2012 dan kebijakan Pemerintah mengalokasikan hutan untuk rakyat,” ujar Myrna Safitri, Direktur Epistema Institute dalam Lokakarya Rancangan Peraturan Daerah Masyarakat Kasepuhan yang diselenggarakan oleh DPRD Kabupaten Lebak, Provinsi Banten bersama Epistema Institute dan Rimbawan Muda Indonesia (RMI) pada 27 – 28 Juli 2015.
Perubahan hukum dan kebijakan di tingkat nasional memperkuat keberadaan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat. Mulai dari Putusan MK No.35/PUU-X/2012 mengenai Hutan Adat, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa sampai dengan Program Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang memberikan target alokasi kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk dikelola oleh masyarakat serta distribusi lahan seluas 9 juta hektar untuk kegiatan pertanian.
Berbagai permasalahan yang dialami oleh Masyarakat Kasepuhan di Kabupaten Lebak menuntut diperlukannya kebijakan baru dari Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah untuk melakukan koreksi atas kebijakan yang telah dilakukan selama ini. Langkah strategis untuk membangun kebijakan baru tersebut dimulai dengan mengakui keberadaan hak Masyarakat Kasepuhan atas wilayahnya.
“Peraturan Daerah (PERDA) menjadi pilihan hukum yang diambil oleh warga Kasepuhan, seperti yang tercantum dalam Putusan MK No. 35/2012. Upaya ini didorong menjadi landasan warga Kasepuhan untuk mempertahankan Hutan Adat, memastikan wilayah adat (wewengkon) dan tetap memanfaatkan hutan sebagai sumber penghidupannya,” ungkap Mardha Tilla, Manager Kampanye dan Advokasi RMI. “Lebih dari 7 Kasepuhan (Citorek, Cibedug, Cisitu, Cirompang, Karang, Pasir Eurih, dan Ciptagelar) yang wewengkon-nya ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) sedang memperjuangkan haknya bersama dengan SABAKI (Kesatuan Adat Banten Kidul),” sambung Mardha. [ ]
Kontak Media :
Yance Arizona, Manager Program Hukum dan Masyarakat Epistema Institute, HP. 085280860905
Mardha Tilla, Manager Kampanye dan Advokasi RMI, HP. 081316367600
Sumber : wartaekonomi.co.id