Proses Registrasi Desa Adat Kok Lelet Amat Sih

Proses Registrasi Desa Adat Kok Lelet Amat Sih

Sudah Ditetapkan Lewat Produk Hukum

 

RMOL. Epistema Institute mencatat, sebanyak 538 komunitas masyarakat hukum adat telah ditetapkan melalui produk hukum daerah pasca dikeluarkannya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 pada 16 Mei 2013.

Penetapan tersebut dilaku­kan melalui sejumlah Surat Keputusan (SK) Bupati dan Peraturan Daerah (Perda) di tingkat kabupaten. Namun, sam­pai saat ini pemerintah terkesan lamban dalam meregistrasi desa-desa adat.

Direktur Hukum dan Kebijakan Epistema Institute, Malik, menuturkan, Perda yang paling banyak menetapkan komunitas masyarakat hukum adat adalah Perda Kabupaten Lebak No. 8 Tahun 2015. Perda terse­but mengakui 519 kasepuhan yang terdiri dari kasepuhan inti, kokolot lembur dan gurumulan/ rendangan.

“Dari Mei 2013 hingga Desember 2016 terdapat 17 produk hukum daerah yang secara spesi­fik berisi mengenai pengakuan keberadaan masyarakat adat yang tersebar di 13 kabupaten/ kota di 10 provinsi di Indonesia,” ujarnya di Jakarta.

Jumlah komunitas masyarakat adat yang ditetapkan dengan produk hukum daerah menga­lami peningkatan pasca Putusan MK 35/2012.

“Sayangnya, dari 133 jumlah desa adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah, belum ada satu pun yang telah mendapatkan registrasi dan kode desa dari Kementerian Dalam Negeri,” ungkapnya.

Padahal, UU no. 6 tahun 2014 tentang Desa telah mem­perkenalkan nomenklatur Desa Adat yang menuntut pemerin­tah daerah untuk melakukan penataan desa. Penataan Desa salah satunya dilakukan untuk menentukan mana yang akan menjadi desa, desa adat, atau kelurahan. Beberapa daerah menindaklanjuti UU Desa ini dengan menetapkan desa adat.

Anggota Dewan Pakar Epistema Institute, Yance Arizona mengatakan, hingga Desember 2016 terdapat 133 Desa Adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah. “Penetapan Desa Adat terbanyak terjadi di Kabupaten Rokan Hulu melalui Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 dengan menetapkan 89 Desa Adat,” sebutnya.

Dipaparkan Yance, terdapat tren peningkatan produk hukum daerah mengenai masyarakat adat pasca Putusan MK 35. Di tahun 2013 terdapat 12 produk hukum daerah mengenai masyarakat adat, tahun 2014 ter­dapat 17, tahun 2015 sebanyak 27, dan tahun 2016 terdapat 13 produk hukum daerah.

“Peningkatan ini terjadi kar­ena hadirnya Putusan MK 35 yang diikuti oleh UU Desa, UU Pemerintahan Daerah dan pera­turan operasional dari kemen­terian yang berkaitan dengan masyarakat adat,” katnya.

Direktur Epistema Institute, Luluk Uliyah, menambahkan peningkatan produk hukum daerah mengenai masyarakat adat pasca Putusan MK 35 juga disebabkan karena se­makin luasnya wilayah advokasi yang dilakukan oleh organisasi masyarakat adat dan lembaga swadaya masyarakat yang men­dampingi pemerintah daerah dalam penyusunan produk hu­kum daerah.

“Dari 69 produk hukum daer­ah yang terbit pasca Putusan MK 35, sebanyak 34 produk hukum daerah bersifat pengaturan, 34 bersifat penetapan dan satu ber­sifat kombinasi,” katanya.

Produk hukum daerah terse­but dikelompokkan dalam lima bentuk, yaitu Perda yang bersifat pengaturan, Perda yang bersi­fat penetapan, Perda kombi­nasi pengaturan dan penetapan, Peraturan kepala daerah (guber­nur atau bupati) yang bersifat pengaturan, dan Keputusan kepala daerah.

“Dari sisi bentuk hukumnya, produk hukum daerah yang pal­ing banyak setelah keluarnya Putusan MK 35 adalah Perda yang bersifat pengaturan,” lan­jutnya.

Terdapat 27 Perda yang bersifat pengaturan di mana 19 di antaranya adalah Perda Kabupaten/Kota dan 8 Perda Provinsi. Sementara itu, peraturan daerah yang bersifat penetapan sebanyak 33 produk hukum daerah, yang terdiri dari 9 Perda Kabupaten dan 24 SK Bupati/ Walikota. ***

 

sumber: http://www.rmol.co/