2 Juli 2013, by Sulung Prasetyo
Meremehkan hak kepemilikan tenurial, sama saja dengan menafikan panyaluran manfaat dari program pengurangan emisi melalui deforestasi dan degradasi hutan (Reducing Emission from forest Deforestation and Degradation/REDD). Sayangnya di Indonesia, antara keberadaan pengakuan dan praktek dilapangan terhadap hak kepemilikan tenurial tersebut, dianggap rendah.
Jadi bisa dipastikan, bila kondisi tersebut terus berlanjut maka manfaat dari program REDD, hanya akan dinikmati kelas elit tanpa mencapai kelas akar rumput. Demikian salahsatu kesimpulan yang berhasil ditemukan, melalui peluncuran buku mengenai ‘Tenurial dalam perdebatan REDD: Pokok persoalan atau hanya pelengkap?’, karangan Lorenzo Cotula dan James Mayers, yang dikeluarkan Epistema Institute, Juni 2013 ini.
Lorenzo dan Mayers memberikan pemikiran mudah, mengenai manfaat REDD. Namun sulit untuk menentukan siapa yang harus didukung sesuai dengan skema REDD. “Misalnya, siapa yang harus dibayar, karena tenurial tidak jelas dalam hal seberapa banyak lahan yang terancam deforestasi,” papar mereka.
Hal tersebut kemudian menjadi kontradiksi, ketika dihadapkan pada pertanyaan siapa yang sebenarnya memiliki lahan terbesar di dunia ini? Tahun 2002 lalu, White dan Martin memperkirakan sekitar 77 persen dari hutan di dunia dimiliki oleh pemerintah. Penelitian yang lebih baru, seperti yang dilakukan Sunderlin pada tahun 2008, pada intinya mengukuhkan jumlah tersebut. Secara serupa, di Afrika, suatu penelitian terbaru dari Badan Dunia Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) menunjukkan bahwa sebagian besar hutan dimiliki oleh publik sebanyak 95 persen, dan mayoritas dimiliki oleh pemerintah pusat, sebanyak 82 persen.
Dari skema REDD yang telah disepakati, para pemilik lahan yang ditanami pohon-pohon, sudah pasti akan menikmati hasil dari penjualan karbon yang terserap. Dan bila mengamati dari data-data kepemilikan lahan, maka dapat dipastikan peraih keuntungan utama dari penjualan karbon adalah negara.
Hal tersebut menjadi kontras, saat sebagian besar harapan dari program penjualan karbon melalui REDD, justru seharusnya dapat dinikmati kalangan umum atau publik. Seperti di Indonesia, misalnya, pembaharuan hukum yang dilakukan setelah kejatuhan rejim Suharto (Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999) menyerahkan tanggung jawab pengelolaan hutan dan sebagian besar pendapatan perkayuan kepada pemerintah lokal.
Kemudian beberapa kasus kepemilikan tanah, seperti hutan kemasyarakatan atau hutan desa menjadi kisruh lantaran seperti tak dilakukan secara serius oleh pemerintah. Kemungkinan konflik kemudian akan menjadi lebih besar, lantaran keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan antara hutan negara dan hutan adat, kemudian terjadi di Indonesia.
“Ketika skema-skema REDD lebih mungkin diatur oleh hukum nasional daripada hukum adat, isu kunci di sini adalah sampai sejauh mana sistem tenurial adat diakui dan dilindungi oleh legislasi nasional,” papar Lorenzo lagi.
Kalau mau dipahami lebih dalam, isu tenurial pada akhirnya akan berujung pada tata ruang pengelolaan sumber daya alam yang amburadul. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memaparkan bahwa harusnya proses usulan tataruang daerah yang masih berlangsung saat ini mulai memasukan Hutan Adat sebagai salah satu bagian dari rencana tataruang wilayah, sehingga proses pengukuhan kawasan hutan adat bisa dilakukan bersamaan dengan proses penataan ruang wilayah. Dengan demikian maka pemetaan dan proses identifikasi hutan adat maupun pengakuan tenurial lain, baik untuk hutan kemasyarakatan dan hutan desa, dapat berlangsung dan ditanggung oleh negara.
“Dikhawatirkan apabila tidak terintegrasi maka akan terjadi konflik ruang yang beresiko pada konflik sosial,” analisa Abetnego.
Untuk itu pemerintah harus melibatkan masyarakat adat, organisasi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil lainnya yang konsern terhadap hak masyarakat adat dalam rencana tataruang wilayah yang tengah berlangsung.
Hal itu juga yang diamini Andiko, Direktur Huma dalam masalah ini. Menurutnya pengakuan terhadap wilayah-wilayah rakyat dibidang teurial sudah selayknya sesegera mungkin diberlakukan. Mengingat dengan pembelakukan perpanjangan moratorium hutan, berarti memerlukan rumusan wilayah tenurial yang jelas.
Jadi dapat dipastikan mereka yang tertarik untuk mengembangkan skema REDD yang sehat dan berkelanjutan, perlu menempatkan tenurial lokal dan keadilan sosial sebagai perhatian utama. Meskipun pada kenyataan saat ini, lebih banyak yang tampak tidak siap dalam praktek, untuk memastikan bahwa skema REDD mempunyai prospek yang baik, dalam memberikan manfaat bagi penduduk lokal.
Sumber : http://jurnalbumi.wordpress.com/2013/07/02/redd-menguntungkan-siapa/#more-2998