Pembahasan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan ini, DPR sama sekali melupakan keputusan MK tentang hutan adat. Keadaan ini, berpotensi besar terjadi kekacauan di tingkat lapangan.
Selasa (9/7/13) akhirnya rapat paripurna DPR RI menyetujui pengesahan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) menjadi Undang-undang. Namapun berganti, sebelumnya RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H).
Wakil Ketua DPR Pramono Anung memimpin rapat paripurna itu. “Apakah bisa menyetujui RUU P3H untuk disahkan menjadi Undang-undang?” Pramono bertanya pada para anggota DPR yang hadir. “Setuju….” Diapun mengetuk palu tanda setuju.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelestarian Hutan menilai, pengesahan UU ini sebagai babak baru ketidakpahaman DPR atas perundang-undangan yang dibuat dan kebutuhan masyarakat yang terdampak langsung. Merekapun telah mempersiapkan materi judicial review UU ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kami sedang rapatkan dengan koalisi dan tentukan materi yang akan kami ajukan ke MK,” kata Siti Rahma Mary dari HuMa di Jakarta, Selasa(9/7/13).
Koalisi pun mendesak pemerintah mengedepankan revisi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan komprehensif. Dengan begitu banyak tumpang tindih regulasi, Koalisi mendesak pemerintah dan DPR memoratorium penerbitan perundangan kehutanan dan tata ruang hingga roadmap harmonisasi jelas dan disepakati publik. Gabungan organisasi ini menuntut pengukuhan kawasan hutan dengan memperhatikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat.
Deddy Ratih dari Walhi Nasional mengatakan, RUU ini, disahkan saat Keputusan MK 35/PUU/X/2012 tentang Hutan Adat belum ada implementasi. Dalam pembahasan akhir RUU P3H ini, DPR sama sekali melupakan keputusan MK tentang hutan adat ini. Keadaan ini berpotensi besar terjadi kekacauan di tingkat lapangan.
“Katanya mengakomodir hak masyarakat sekitar hutan dan adat, mengakomodir bagaimana? Apalagi ini baru ada putusan MK tentang hutan adat bukan hutan negara. Bagaimana jadinya muncul lagi UU ini?” kata Deddy Ratih dari Walhi Nasional di Jakarta, Selasa(9/7/13).
Dia menilai, pengesahan UU ini benar-benar untuk kejar tayang yang hanya memenuhi keinginan negara-negara importir kayu tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat.
Dengan nama yang berubah dari RUU P2H menjadi UU P3H ini menafikan persoalan lingkungan. “Seolah-olah dengan izin saja sudah cukup memberikan jaminan pengelolaan hutan lestari. Padahal penegakan UU Kehutanan no 41 tahun 1999, saja tidak mampu dilakukan pemerintah.”
Tak hanya itu, pengesahan RUU P3H ini dengan draf akhir tak disosialisasikan memperlihatkan parlemen dan pemerintah tidak jujur menjalankan mandat konstitusi.
Abdon Nababan, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, seharusnya UU ini menyebutkan Putusan MK 35 sebagai salah satu landasan hukum. Pemberlakukan UU ini pun, hanya boleh di kawasan hutan yang sudah dikukuhkan.
Saat ini, katanya, kawasan hutan yang sudah dikukuhkan baru sekitar 12-14 persen. “Itu pun proses pengukuhan dari 12-14 persen ini belum sepenuhnya clean and clear.”
Jadi, jika UU ini dipaksakan berlaku untuk kawasan hutan—dalam perspektif pemerintah yakni seluruh hutan, maka akan memperluas dan memperkeras konflik antara masyarakat adat dengan pemerintah dan perusahaan.
Abdon mengatakan, dalam suatu dialog di media Pansus pernah berjanji bertemu dengan AMAN sebelum RUU disahkan. “Janji itu sampai hari ini tidak dilaksanakan. Tidak ada undangan ke AMAN untuk membahas kembali RUU ini sampai disahkan tadi siang.”
Menurut dia, ada pasal-pasal kriminalisasi masyarakat adat. Antara lain, pada Pasal 1 ayat 3. (draf lihat di bawah). Padahal, putusan MK jelas kawasan hutan yang masih penunjukan dan dalam proses penetapan, status secara hukum belum sah sebagai kawasan hutan. Ayat 6. Pasal karet ini, bisa dengan mudah mengkriminalisasi masyarakat adat karena apapun kegiatan mereka bisa diduga merusak hutan. “Sebagian dari hasil hutan adat mereka juga dibawa ke pasar untuk dijual.”
Pasal 11, ayat 4. Kata Abdon, tidak mungkin setiap hasil hutan yang mereka pungut selama ini harus mendapatkan izin dari pejabat. Pada Ayat 5, biasa PP yang dijanjikan dalam UU ini akan ada setelah sekian tahun bahkan tidak akan pernah ada.
Lalu, Pasal 26. “Ini juga pasal kriminalisasi masyarakat adat karena kawasan hutan saat ini baik yang berupa penunjukan maupun pengukuhan merupakan pemaksaan sepihak oleh pemerintah atau Kemenhut.”
Ketika pembahasan RUU P2H, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan telah audiensi dengan Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, dan Tim Panja RUU P2H di Komisi IV.
Sejak awal pembentukan RUU P2H, Koalisi menyatakan sikap penolakan karena ada banyak permasalahan dalam pembentukan RUU ini, baik formal maupun substansial.
Menurut Rahma, ada beberapa poin penting dasar penolakan pengesahan RUU ini. Pertama, pembentukan RUU PH tidak sisertai naskah akademik. RUU P2H sebenarnya perubahan judul dari RUU Pembalakan Liar (Illegal Logging) yang telah dibahas di DPR sejak 2011.
Naskah Akademik adalah prasyarat mutlak pembentukan RUU. Jikapun tak ada perubahan substansial dari RUU itu, paling tidak harus ada penjelasan mengenai perubahan nama RUU untuk memastikan perumusan dan pembahasan RUU dengan dasar dan alasan jelas.
“RUU P2H jelas menyimpang pasal 43 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2011, terlebih lagi karena ada perubahan substansial dari perumusan RUU Pembalakan Liar.”
Kedua, pembahasan RUU tak terbuka. Proses pembahasan RUU terkesan diam-diam. Keadaan ini bisa dilihat dari kesulitan akses Naskah Akademik dan RUU yang sedang dibahas DPR. Keterbukaan pembahasan RUU sangat penting, katanya, terutama untuk membuka ruang partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan.
Setelah penyampaian posisi Koalisi di hadapan Komisi IV pada 8 April 2013, DPR tidak pernah mengundang maupun memberi tahu perkembangan terbaru mengenai pembahasan RUU ini. Apalagi memberikan draf terbaru RUU ini. Jadi, proses pembahasan pun melanggengkan ketidakterbukaan.
Ketiga, tak ada harmonisasi hukum antara RUU dengan peraturan Kehutanan lain. Menurut Rahma, RUU ini berusaha memformulasikan segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana sektor kehutanan di dalam satu perundang-undangan.
Keadaan ini berdampak buruk, manakala tak ada harmonisasi antara RUU dengan peraturan lain sektor kehutanan. “Paling mudah dilihat adalah tidak diperhatikan definisi kawasan hutan dalam RUU itu.”
Melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011, MK telah membatalkan definisi “Kawasan Hutan” dalam UU Nomor 41 Tahun 1999. Namun, definisi kawasan hutan yang telah dibatalkan masih digunakan dalam RUU ini.
DPR juga tak memperhatikan putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang memutuskan, hutan adat dikeluarkan dari hutan negara serta masuk hutan hak. Kenyataan, masih banyak hutan-hutan adat dalam kawasan hutan negara. “Karena itu, RUU ini tak bisa berlaku terhadap kawasan hutan yang belum jelas.”
Keempat, RUU ini mengkriminalisasi masyarakat adat. Dalam beberapa pasal RUU, terdapat definisi-definisi yang membuka peluang lebih besar terhadap kriminalisasi masyarakat adat dan atau komunitas lokal. “Kriminalisasi kegiatan masyarakat adat atau masyarakat lokal justru banyak terjadi karena pasal-pasal dengan definisi terlalu luas seperti ini.”
Kelima, RUU kontraproduktif dengan usaha pemberantasan korupsi. Rahma mengatakan, RUU ini berusaha memformulasikan pelanggaran dan tindak pidana sektor kehutanan dalam satu perundang-undangan, termasuk pidana korupsi dan pencucian uang.
Usaha ini, dibarengi pembentukan lembaga baru khusus menangani pelanggaran dan pidana kehutanan, termasuk korupsi. Fungsi pencegahan oleh lembaga khusus ini bisa tumpang tindih.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kelestarian Hutan ini terdiri dari HuMa, Epistema Institute, KPA, Walhi, JKPP, Yayasan Silvagama, AMAN, Jatam, Sawit Watch, ICEL, FKKM, Pusaka, ICW, PIL-Net, Elsam, Jikalahari.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2013/07/09/ruu-p3h-disahkan-koalisi-siapkan-judicial-review-ke-mk/