Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 35/PUU-X/2012 yang dibacakan oleh majelis hakim konstitusi pada 16 Mei 2013 menjadi satu titik penting dalam perubahan kebijakan negara terhadap masyarakat adat dan haknya atas wilayah adat di Indonesia. Putusan tersebut meningkatkan kesadaran pemerintah akan semakin pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat beserta dengan hak-hak tradisonal yang dimilikinya.
Pemerintah kemudian merespons putusan MK tersebut dengan menghadirkan sejumlah peraturan perundang-undangan, misalkan UU Desa, Peraturan Menteri Kehutanan No. 62 Tahun 2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, sampai dengan Peraturan Bersama 4 Kementerian/Lembaga tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan. Hal ini ditambah pula pembentukan sejumlah unit di dalam pemerintahan baru yang akan berkerja untuk mewujudkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat beserta dengan hak tradisonalnya.
Selain itu, Program Pembangunan Nasional 2015-2019 telah menetapkan target alokasi kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar kepada masyarakat serta distribusi lahan pertanian seluas 9 juta hektar. Penetapan target itu adalah sebuah lompatan besar meski mengalami pengurangan dari rencana 40 juta hektar yang disebutkan sebelumnya dalam Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Kebijakan ini selain membuka peluang akses dan pengakuan terhadap ruang kelola rakyat juga berpotensi membuka peluang ekspansi perkebunan skala besar dalam kemasan proyek kedaulatan pangan dan energi. Dimana dalam waktu yang bersamaan berjalan juga kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan dan perubahan status peruntukan untuk tata ruang pada objek wilayah atau kelompok masyarakat yang sama. Menyikapi hal tersebut, pemerintah, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat sipil yang telah lama bekerja untuk agenda perluasan wilayah kelola rakyat dan pengakuan wilayah adat penting untuk merumuskan strategi bersama mewujudkannya.
Pada bulan tanggal 3 Maret 2015 pemerintah melalui Wakil Presiden dan sejumlah kementerian mendeklarasikan Program Nasional Pembaruan Hukum Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Kemudian disusul dengan Deklarasi Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam pada 19 Maret 2015 di Istana Negara yang ditandatangani oleh 29 kementerian/lembaga. Hal itu semakin menunjukan kuatnya komitmen pemerintah untuk melakukan penataan ulang peraturan perundang-undangan dan program pemerintah di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk mewujudkan visi pemerintahan baru.
Inisiatif kebijakan tidak saja hadir dari pemerintah pusat, banyak pemerintah daerah kemudian sedang merencanakan pembentukan peraturan dan kebijakan daerah untuk mengakui dan melindungi keberadaan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, Inisiatif ini merupakan suatu kelanjutan dari berbagai inisiatif serupa di berbagai daerah yang sudah ada sebelumnya. Sementara itu, kalangan masyarakat sipil yang selama ini mendampingi masyarakat dalam mengembangkan program pemberdayaan dan perlindungan terhadap masyarakat adat memfasilitasi masyarakat adat agar dara hukum yang memadai untuk pengakuan wilayah adat dan perluasan wilayah kelola rakyat.
Sering kali inisiatif kebijakan yang sudah dihasilkan oleh pemerintah daerah tidak mendapatkan respons yang tepat dari pemerintah pusat, sehingga membuat berbagai inisiatif daerah tidak dapat menjadi wujud nyata dari pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat dan wilayah kelola rakyat sebagaimana yang diharapkan. Pada sisi lain, tidak sedikit pula kebijakan dari pemerintah pusat yang tersedat-sendat bahkan tidak terimplementasi di daerah. Situasi ini menunjukan diperlukannya proses sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menjamin kebijakan yang dibergulir di nasional untuk percepatan pengakuan wilayah adat dan perluasan wilayah kelola rakyat.
Pentingnya sinergi dalam berbagai pembaruan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah mengenai masyarakat hukum adat melandasi Epistema Institute, WALHI, Kemitraan dan Perkumpulan HuMa mengadakan “Dialog Nasional Mewujudkan Perdepatan Pengakuan Wilayah Adat dan Perluasan Wilayah Kelola Rakyat”.
Dialog Nasional ini dilaksanakan di Aula Walikota Mataram, Nusa Tenggara Barat pada 17 – 18 April 2015, dan dibuka oleh Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat, HM. Amin. Dialog ini juga dihadiri oleh Walikota Mataram, Gubernur Bengkulu, Bupati Malinau, Bupati Jayapura, serta 200 peserta dari 28 propinsi dari berbagai unsur, seperti gubernur, bupati, SKPD, organisasi masyarakat sipil dan komunitas yang bekerja di isu masyarakta adat dan pengelolaan sumber daya alam.
Dalam sambutan pembukaannya, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat berharap agar kegiatan Dialog Nasional ini dapat membentuk komitmen dan gerakan bersama untuk mewujudkan pengelolaan kawasan hutan dengan prinsip pembangunan kelestarian dan keekonomian. [ ]