Siaran Pers Epistema Institute & Perkumpulan QBAR
Dibutuhkan Regulasi Untuk Pengembalian Tanah Ulayat
Epistema Institute bekerjasama dengan Perkumpulan QBAR menyelenggarakan Seminar Sehari membahas Penguatan Hak Ulayat dalam Kebijakan dan Putusan Pengadilan di Sumatra Barat pada 14 Maret 2013 kemarin. Dalam kegiatan ini dibahas Peraturan Gubernur Sumatra Barat No. 21 Tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal serta Putusan Pengadilan Negeri Payukumbuh dalam perkara PT. Jenyta Ranch vs Nagari Sungai Kamunyang. Hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut Asnawi Bahar (Ketua KADIN Sumbar), Dr. Kurnia Warman (Dosen FH Univ. Andalas), Sahnan Sahuri Siregar (Pengacara publik), Luzron Lamujin (Tokoh Adat Sungai Kamunyang) dan Akmal (LKAAM Sumbar).
Sahnan Sahuri Siregar, pengacara publik di Padang menyampaikan bahwa konflik tanah ulayat di Sumatra Bara menjadi persoalan purba yang diwarisi sampai sekarang. Konflik itu tidak saja terjadi karena datangnya perusahaan yang difasilitasi oleh pemerintah yang mencaplok tanah ulayat, tetapi juga terkait konflik antara satu nagari dengan nagari lain. “Namun tidak jarang konflik tersebut juga berujung pada kekerasan yang dialami oleh masyarakat karena pemerintah mengerahkan aparat kepolisian untuk menghadapi masyarakat,” ungkap Rustam, aktivis Serikat Petani Indonesia.
Sahnan juga menyampaikan bahwa jarang sekali masyarakat menang bila berhadapan dengan perusahaan, karena pengadilan masih berpandangan sangat positivistik. Kalaupun ada masyarakat menang seperti dalam Putusan PN Payukumbuh dalam perkara HGU PT. Jenyta Ranch Vs Nagari Sungai Kamunyang, putusan pengadilannya belum menyelesaikan inti persoalan karena tegas menyatakan tanah yang disengketakan itu adalah tanah ulayat Nagari Sungai Kamunyang.
Akmal dari LKAAM menyebutkan bahwa “terperkosanya” hak ulayat di Sumatra Barat terjadi karena tidak ada identifikasi terhadap dimana tanah ulayat itu berada. Sebenarnya diperlukan peta tanah ulayat agar ada kepastian. Selain itu persoalan juga terjadi karena ada kekeliruan dalam menerjemahkan silih jariah yang dipersamakan dengan ganti rugi. Padahal siliah jariah itu bukan ganti rugi yang bisa dijadikan sebagai tanda pelepasan hak. Berbagai macam manipulasi telah membuat masyarakat kehilangan tanah ulayat.
Pemerintah Provinsi Sumatra Barat merespons persoalan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan terkait dengan hak ulayat dengan mengeluarkan Pergub No. 21 tahun 2012 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Penanaman Modal. Kurniawarman dari Fakultas Hukum Universitas Andalas menyampaikan bahwa Pergub tersebut merupakan aturan operasional dari Perda No. 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya. Pergub tersebut mencoba memecahkan kebuntuan peraturan yang selama ini belum ada yang mengatur pemulihan tanah ulayat. Bahkan di dalam Pergub itu ada bab khusus tentang Pemulihan Tanah Ulayat yang dilakukan dengan cara pengembalian tanah ulayat bekas HGU kepada masyarakat sebagai implementasi dari pendelegasian kewenangan penguasaan tanah oleh negara kepada masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 2 ayat (4) UUPA.
Sementara itu, Asnawi Bahar (Ketua KADIN Sumbar) menyatakan bahwa dari sisi aturan sebenarnya sudah sangat baik. Perusahaan pun hadir dengan patuh hukum ketika datang untuk melakukan penanaman modal. Bahkan perusahaan datang ke masyarakat dengan misi untuk mendatangkan pembangunan. Tidak ada perusahaan yang datang ke suatu tempat untuk berkonflik dengan masyarakat. Ia menyampaikan persoalan lebih banyak pada tahapan implementasi yang dipengaruhi oleh oknum-oknum yang bermain di lapangan.
Yance Arizona dari Epistema Institute menyampaikan bahwa Pemerintah Sumatra Barat sudah cukup maju dalam pengembangan regulasi untuk penguatan hak ulayat, tapi persoalannya ada pada tahapan operasional. Hal itu terjadi misalkan meskipun Perda Sumbar No. 6 tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya telah memerintahkan dilakukannya pendaftaran tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum, namun lima tahun perda itu berlaku belum sejengkalpun tanah ulayat yang sudah didaftarkan. Itu terjadi karena pelaksana pendaftaran tanah itu adalah urusan kantor pertanahan, bukan pemerintah daerah. Sedangkan kantor pertanahan tidak memiliki peraturan untuk mengoperasionalisasi pendaftaran tanah ulayat. Oleh karena itu, perlu juga mendorong agar BPN memilki aturan yang baru untuk melakukan pendaftaran tanah ulayat dan lebih jauh sebenarnya untuk mengatur pengembalian tanah ulayat yang selama ini dikuasai oleh perusahan-perusahan dalam bentuk HGU. Tanpa ada sinkronisasi dengan BPN yang merupakan instansi vertikal dalam urusan pertanahan, Pergub yang baru ini bisa mengalami hal yang sama dengan Perda Pemanfaatan Tanah Ulayat, yaitu sama-sama tidak dapat dilaksanakan di lapangan. [ ]
Informasi lebih lanjut:
Yance Arizona (Epistema Institute). 085280860905
Harry Kurniawan (Perkumpulan QBAR). 085274062506