INDONESIA DAN PARADOKS PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN:
Pertumbuhan ekonomi yang berjalan di atas konflik tenurial yang tak terselesaikan dan lemahnya tata-kelola
Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan tahun 1992 membuka mata dunia tentang pentingnya perubahan paradigma pembangunan. Pembangunan tidak semata mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi menjadi alat untuk menyasar keadilan: bagi setiap elemen masyarakat; bagi semua spesies dan bagi generasi kini dan mendatang. Dua dekade berselang, pembangunan berkelanjutan tetap menjadi ikon. Pertemuan Rio+20 yang sekarang tengah berlangsung menjadi arena untuk menguji konsistensi semua pemerintahan nasional terhadap komitmen pembangunan berkelanjutannya.
Pemerintah Indonesia menyatakan dan melaksanakan komitmen untuk pembangunan berkelanjutannya dengan berbagai cara. Komitmen pengurangan emisi, penanaman satu milyar pohon dan berbagai upaya perluasan akses masyarakat pada hutan adalah beberapa di antaranya.
Meskipun demikian, tantangan berat yang belum tuntas diatasi oleh Pemerintah Indonesia adalah konflik tenurial, konflik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atas ruang dan perbaikan tata kelola kehutanan yang lamban. Bagaimana sinergi pertumbuhan berkelanjutan dan pemerataan (sustainable growth and equity) dapat dilakukan? Bagaimana pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan dapat berlangsung? Seberapa jauh efektifitas upaya penyelesaian konflik tenurial dan perbaikan tata kelola kehutanan?
Untuk mengurai permasalahan tersebut, Epistema Institute bekerjasama dengan Centre for Forestry Organization, Capacity and Institution (FORCI)-Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, menyelenggarakan Diskusi Pakar bertemakan “Indonesia dan paradoks pembangunan berkelanjutannya“ di Hotel Borobudur (21/06) Jakarta. Catatan kritis yang muncul dalam diskusi pakar tersebut adalah ketidak jelasan tata kelola pengelolaan sumber daya alam serta hak yang melekat di atasnya. Termasuk pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta keuntungan atas hasil pengelolaan sumber daya alam tersebut. Misalnya, berapa persen yang akan masuk ke kas pusat dan berapa yang ke daerah. Hal lain yang juga mencuat dalam diskusi tersebut adalah soal penguasaan antara Pemerintah (Governance) dan pengusaha. Ini juga termasuk pembagian keuntungannya. Perhitungan keuntungan ini pun belum memiliki standar atau pola yang jelas.
Di tempat terpisah, Profesor Hariadi Kartodihardjo, Pengajar di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dalam siaran pers petang kemarin (21/06) mengatakan bahwa penurunan emisi sebagai sesuatu yang dicita-citakan oleh pemerintah dengan tujuan menghindari kerusakan hutan. Namun, pengalaman menunjukkan jika Pemerintah lebih buruk pengelolaan SDA dari pada swasta. Selanjutnya, orang nomor satu di Dewan Kehutanan Nasional (DKN) ini mengungkapkan contoh bagaimana Pemerintah mengatur dan berhadapan dengan persoalan kehutanan. Hal yang cukup mencengangkan dilontarkannya adalah bahwa dari sekitar 90% luas kawasan hutan, hak masyarakat lokal hanya “setengah persen” saja. Permasalahan itu belum lagi di tambah dengan pengalaman pemerintah dalam menyelesaikan sejumlah kasus tenurial lainnya seperti peternakan, tambang dan lainnya.
Pola pengelolaan yang sektoral yang selama ini dijalani juga menjadi masukan yang perlu dipertimbangkan kedepannya. Hariadi Kartodihardjo selanjutnya menambahkan jika cita-cita berupa penurunan emisi yang diharapkan, maka idealnya ada arah yang jelas. Hal ini disebabkan jika hingga kini masih belum jelas arah yang hendak menjadi sasaran dalam penurunan emisi ini.
Catatan penting lainnya yang diutarakan Pakar Kehutanan ini adalah persoalan kebijakan dan good governance. Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah, dan kepentingannya. Ini berbicara soal market dan politik power. Untuk good governance, beliau menyarankan perlunya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan managament. Pernyataan tersebut juga menjadi salah satu point penting dalam hal pendekatan politik.
Diskusi pakar tersebut pun menjadi ajang untuk menguatkan dan menggagas ide aksi bersama antara pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Hal ini diutarakan oleh Direktur Epistema Institute, Myrna A.Safitri, PhD. Menurut beliau, ada tiga tawaran yang digagas oleh Epistema Institute menyahuti isu penurunan emisi. Tawaran pertama adalah perbaikan di sektor kebijakan, tawaran kedua adalah penyelesaian sejumlah konflik tenurial yang hingga kini masih terus berlangsung dan tawaran terakhir adalah penataan kembali ruang kelola bagi rakyat. Untuk semua pemikiran tersebut tentunya memerlukan peran serta semua pihak terkait baik pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil.
Siaran Pers:
Siaran Pers-Indonesia dan Paradoks Pembangunan Berkelanjutan
PRESS RELEASE-INDONESIA AND ITS SUSTAINABLE DEVELOPMENT PARADOX