Ketika Rakyat dan Pemerintah Mendiskusikan Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan
Epistema Institute dan Perkumpulan HuMa pada 25 Februari 2013 menyelenggarakan sebuah diskusi panel bertajuk “Pelembagaan Penyelesaian Konflik Tenurial Kehutanan”. Diskusi ini adalah bagian dari Konferensi tentang Ekonomi Politik Agraria yang diselenggarakan Konsorsium Pembaruan Agraria. Bertempat di Hotel Evergreeen, Puncak, panel ini dipenuhi hampir seratusan warga masyarakat desa-desa hutan dari sejumlah wilayah di Indonesia dan pendampingnya.
Diskusi bertujuan untuk mengkomunikasikan perkembangan terkini dari upaya-upaya pemerintah menyelesaikan konflik tenurial serta Dewan Kehutanan Nasional me-mediasi konflik.Adalimanarasumber yang memaparkan presentasinya:
1. Satiawardhana (Direktorat Pengukuhan, Penatagunaan dan Tenurial Kawasan Hutan, Kementerian Kehutanan). Presentasi.
2. I Made Subadia Gelgel (Ketua Tim Kerja Tenurial Kehutanan Kemenhut). Presentasi.
3. Ibnu Wardono (Direktur Pengaturan dan Penetapan Hak Tanah, BPN). Presentasi.
4. Sri Lasmi (Kabid Evaluasi Perencanaan Kehutanan Regional Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional 2 (Pusdalbanghut 2). Presentasi.
5. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Dewan Kehutanan Nasional). Presentasi.
Satiawardhana memaparkan proses pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan Permenhut P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Ada kemauan Kemenhut untuk menerima bukti tertulis dan tidak tertulis sebagai bukti kepemilikan pihak ketiga. Dengan adanya bukti ini, maka pihak Kemenhut dapat mengeluarkannya dari kawasan hutan dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Narasumber berikutnya, Ibnu Wardono lebih banyak memaparkan kebijakan di BPN yang masih kesulitan dalam memformulasikan pengintegrasian hak ulayat dalam sistem pendaftaran tanah dengan mengetengahkan contoh baru dua Perda Hak Ulayat yang disahkan (yakni Perda di Sumbar dan Papua). Sementara Sri Lasmi memaparkan tugas baru Pusdalbanghut berupa penyelesaian konflik yang diembankan pada akhir tahun 2012. Walaupun menganggap dirinya masih belajar, tetapi Pusdalbanghut melaksanakan fasilitasi/mediasi konflik tenurial di dua lokasi, yakni TN Laiwangi Wanggameti, NTT dan KPHL Rinjani Barat, NTB.
Dua narasumber berikutnya, I Made Subagya Gelgel dan Hariadi Kartodihardjo, menjelaskan keberadaan dan perkembangan kegiatan tim dan lembaga yang dipimpinnya dalam penyelesaian konflik. Tim Kerja Tenurial Kawasan Hutan merupakan tim yang terdiri dari pejabat Kemenhut dan kelompok masyarakat sipil yang salah satu kegiatannya adalah menyusun rencana aksi penyelesaian konflik tenurial. Dalam penyusunan rencana aksi ini, Tim membentuk lokasi pembelajaran dari 10 desa model yang akan diselesaikan konflik tenurialnya. Hariadi Kartodihardjo, dalam kapasitasnya sebagai Ketua DKN, memaparkan cara kerja dan perkembangan beberapa konflik yang dimediasi oleh DKN.
Dalam tanya jawab, peserta dari Labuhan Batu, Sumatera Utara, menginformasikan adanya Hak Guna Usaha yang diterbitkan di dalam kawasan hutan lindung. Menanggapi hal ini Ketua Presidium DKN, Hariadi Kartodihardjo, menjelaskan pentingnya melakukan analisis yang lebih utuh perihal HGU di dalam kawasan hutan ini. Sementara pihak Kemenhut dan BPN meminta kejelasan data untuk diverifikasi lebih lanjut.
Dalam halnya ketika menjawab permintaan klarifikasi dari Malik (HuMa) yang menanyakan siapa pihak di BPN yang berwenang membatalan HGU. Pihak BPN, selain meminta waktu untuk memeriksasuratdan informasi di internal BPN, menyatakan bahwa kewenangan tersebut ada di kedeputian V. Pernyataan ini bertentangan dengan keterangan yang didapatkan oleh Malik, bahwa kewenangan itu ada di Kedeputian II dimana Ibnu Wardono berasal.
Dari Kabupaten Manggarai, dilaporkan penatabatasan ulang kawasan hutan di daerah yang menyepakati dikeluarkannya pemukiman masyarakat yang dilakukan sejak 2006 masih belum ada respon dari Kemenhut. Persoalan di NTT ini diakui oleh pihak Kemenhut dan menjelaskan lebih lanjut bahwa di NTT ini ada tumpang tindih kawasan hutan antara register hutan jaman kolonial Belanda dengan penunjukan kawasan hutan tahun 1999, yang berimplikasi pada konflik dengan pihak masyarakat.
Persoalan penguasaan kawasan hutan oleh Perhutani menjadi perbincangan hangat pula dalam diskusi ini. Andri dari dusun Ngrimpak, Temanggung mempertanyakan mengapa sulit mencari solusi penyelesaian konflik ketika Perhutani menjadi salah satu pihaknya.
Ilham dari KKI Warsi mempertanyakan hubungan antar berbagai inisiatif penyelesaian konflik di Kemenhut dan tingkat Pemerintahan Daerah. Sinergi antara Kemenhut dengan Pemda diperlukan terutama untuk mencari opsi-opsi penyelesaian konflik yang tidak melulu mengandalkan pendekatan hukum.
Keterlibatan masyarakat dan intervensi publik yang kuat dalam mengawal proses perubahan tata ruang di daerah, menurut Made Subadia merupakan salah satu cara untuk melakukan perubahan batas dan luasan kawasan hutan. Sayangnya, upaya ini relatif jarang dilakukan. Selain itu, pemberian izin-izin pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat juga dimungkinkan melalui hutan kemasyarakatan dan hutan desa.
Pertanyaan tentang ‘hingga kapan pengawalan mediasi harus dilakukan’ dijawab Ketua Presidium DKN, dengan pengalamannya lembaga multi-pihak ini berkeinginan memastikan dilaksanakannya rekomendasi mediasi. Meskipun demikian, tidak selamanya hal ini mudah dilakukan. DKN punya banyak keterbatasan untuk memastikan para pihak menaati kesepakatan. Hal lain, Kemenhut mengambil keputusan lain dari apa yang disepakati dalam mediasi.
Kompleksitas muncul dan bereskalasinya konflik memerlukan pelbagai cara untuk penyelesaiannya. Diskusi ini menunjukkan bahwa ada inisiatif dilakukan, namun belum sepenuhnya mampu menjawab seluruh aspek yang menyebabkan dan menyertai konflik. Inisiatif-inisiatif dari berbagai lembaga untuk menyelesaikan konflik tenurial kehutanan masih menyebar belum terintegrasi maupun terkoordinasi dengan baik. Penyelesaian konflik, karenanya adalah agenda bersama untuk dipikirkan bentuk kelembagaannya, termasuk kesadaran dan keberanian melakukan terobosan kebijakan dan cara berpikir para pihak.
Foto Diskusi Panel: