Pemerintah Kabupaten Lebak bersama legislatif mendorong beberapa peraturan daerah, dan salah satunya adalah Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.
Hal ini disampaikan oleh Junaidi, Ketua DPRD Kabupaten Lebak dalam Workshop Peningkatan Kapasitas Pra Penyusunan Naskah Akademik dan Perda Pengakuan Masyarakat Kasepuhan yang dilaksanakan oleh Epistema Institute, HuMa, RMI dan JKPP di Ruang Sidang DPRD Kabupaten Lebak 22 Desember 2014 lalu.
Pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) merupakan kewenangan pemerintahan daerah. Ini termaktub dalam UUD 1945, Pasal 18B ayat 2 “Negara mengakui dan Menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat serta hak‐hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang”. Dan ayat 6 “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan‐peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Dan dalam UU No. 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa urusan wajib bidang pertanahan adalan penetapan tanah ulayat, di bidang lingkungan hidup adalah Pengakuan keberadaan masyarakat Hukum Adat (MHA), kearifan lokal dan hak MHA yang terkait dengan PPLH, dan di bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yaitu Penataan Desa Adat, Penetapan susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kepala desa adat berdasarkan Hukum adat.
Kewenangan pemerintah daerah juga disebutkan dalam peraturan perundang‐undangan lain, seperti dalam UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2009, UU No. 6 Tahun 2014 dan PP 43/2014, UU No. 39 Tahun 2014, Permen Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999, Permendagri No.52 Tahun 2014, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Peraturan Nomor 79 Tahun 2014, Nomor PB.3/Menhut‐II/2014, Nomor 17/PRT/M/2014 serta Nomor /SKB/X/2014.
Dalam putusan MK No. 35/2012 menyebutkan bahwa peraturan daerah sebagai wewenang pendelegasian wewenang dan mengisi kekosongan hukum. “Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah dapat dibenarkan sepanjang peraturan tersebut menjamin kepastian hukum yang berkeadilan,” terang Myrna Safitri, Direktur Eksekutif Epistema Institute.
Telah ada 12 Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masyarakat hukum adat, antara lain UU No. 5/1960, UU No. 39/1999, UU No. 41/1999, UU No. 22/2001, UU No. 20/2003, UU No. 7/2004, UU No. 27/2007, jo UU No. 1/2014, UU No. 32/2009, UU No. 18/2013, UU No. 6/2014, dan UU No. 39/2014.
Sementara itu, di Kabupaten Lebak, pengakuan masyarakat hukum adat bukanlah hal yang baru. Berdasarkan peraturan daerah dan SK Bupati Lebak, telah ada Perda No. 32/2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan SK Bupati No. 430/Kep.298/Disdikbud/2013 tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat di Wilayah Kesatuan Adat Banten Kidul. Intellectus vaikų vasaros dienos stovyklos stovyklos Klaipėdoje, Kaune ir Vilniuje
Perda Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy berisikan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam melindungi tatanan masyarakat Baduy dari upaya-upaya yang mengganggu/merusak yang berasal dari luar masyarakat Baduy. Wilayah Hak Ulayat Masyarakat Baduy dituangkan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartografi. Sementara untuk batas-batas yang lebih detail tentang keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Baduy diukur berdasarkan hasil pengukuran dan pematokan oleh Dinas/Instansi terkait yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
“Masyarakat adat di Kabupaten Lebak tidak hanya masyarakat Baduy. Menjadikan Masyarakat Baduy sebagai tolak ukur untuk masyarakat adat sama halnya dengan tidak mengakui keberagaman di dalam masyarakat adat itu sendiri,” papar Yance Arizona dari Epistema Institute. “Perlu adanya perda pengakuan Masyarakat Adat Kasepuhan yang didalamnya juga mengatur tata cara menetukan batas wilayah adat. Hasil pemetaan wilayah adat ini nantinya harus ditetapkan dengan SK Bupati, dan didaftarkan kepada BPN untuk dicantumkan dalam buku tanah dan dimasukkan dalam Perubahan RTRW”.
Yance menyarankan untuk membentuk panitia lembaga adat Kasepuhan yang bertugas untuk melakukan inventarisasi dan verifikasi wilayah adat, penyelesaian keberatan, dan rekomendasi ke bupati. Lembaga adat kasepuhan juga harus mengurus dan mengatur masalah terkait penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah adat dan harta kekayaan masyarakat kasepuhan, melaksanakan hukum dan peradilan adat serta mewakili kasepuhan dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak luar.
Herry Yogaswara, peneliti LIPI yang telah lama melakukan penelitian tentang Kasepuhan menyampaikan bahwa ada beberapa konflik terkait dengan Kesepuhan, antara lain konflik dengan pihak Taman Nasional dimana masyarakat Kasepuhan dilarang memasuki kawasan Taman Nasional, padahal wilayah tersebut merupakan wilayah tradisi Kasepuhan. Konflik dengan Perhutani dikarenakan penggunaan lahan Perhutani untuk pemukiman dan lahan pertanian. Konflik yang lain adalah konflik antara masyarakta Kasepuhan dan non Kasepuhan serta konflik di internal keluarga Kasepuhan.
Tantangan pengakuan masyarakat adat Kasepuan ini adalah wilayah Kasepuhan yang berada di lintas kabupaten dan lintas propinsi. Juga wilayah Kasepuhan yang saat ini tumpang tindih dengan Perhutani dan Taman Nasional. Di sisi lain, juga ada pergeseran nilai-nilai yang menyebabkan apresiasi terhadap pemimpin Kasepuhan menyurut.
Sementara itu, Taqwaddin dari Universitas Syah Kuala, Aceh membagikan tentang pengakuan hukum adat di Aceh. Mukim yang merupakan federasi dari kampung-kampung di Aceh ternyata mengalami pasang surut pengakuan. Sebelum kemerdekaan, pemerintahan mukim diakui sebagai salah satu pemerintahan di bawah kewedanan. Pada masa Orde Baru, mukim tidak lagi diakui sebagai pemerintahan. Dan pasca Orde Baru pemerintahan mukim kembali diakui dibawah kecamatan.
“Dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) di pasal 2 menyebutkan tentang pembagian daerah Aceh dan kawasan khusus, dimana kecamatan dibagi atas mukim, dan mukim dibagi atas beberapa kelurahan dan gampong,” papar Taqwaddin.
Tugas Pemerintahan Mukim menurut pasal 6 Qanun Aceh Utara No. 14 tahun 2011 tentang Pemerintahan Mukim adalah menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan, melindungi adat dan adat istiadat, membina kemasyarakatan, dan meningkatan kualitas pelaksanaan Syari’at Islam. Sementara fungsi pemerintahan Mukim dalam Qanun Aceh Utara No. 14 tahun 2011, pasal 7 antara lain penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan adat, asas desentralisasi maupun asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan (medebewind) serta segala urusan pemerintahan lainnya yang berada di Mukim, pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kehidupan berdemokrasi secara berkeadilan yang inklusif di Mukim, peningkatkan kualitas pelaksanaan Syari’at Islam, kehidupan beragama, kerukunan hidup beragama dan antarumat beragama di kemukiman, pembinaan dan fasilitasi kemasyarakatan di bidang pendidikan, peradatan, sosial budaya, perlindungan hak-hak dasar, ketenteraman dan ketertiban masyarakat di kemukiman, penyelesaian persengketaan adat di kemukiman serta pengawasan fungsi ekologi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di kemukiman.
“Saya menyarankan bahwa dalam Perda Pengakuan Masyarakat Kasepuhan ini perlu mengatur pemberian kewenangan pemerintahan yaitu atributif dan distributif, pembagian urusan dan kewenangan antara Pemkab dan Pemerintah MHA, penguasaan dan pengelolaan hutan adat, laut, pesisir, pasar tradisional, persawahan, dan perkebunan berbasis adat oleh MHA, penegasan dan penetapan SDA sebagai kekayaan MHA serta batas-batasnya (misalnya batas hutan adat) dan penyelesaian sengketa secara adat,” tutup Taqwaddin. [ ]