Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
Putusan tersebut meluruskan konsep penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Selama ini pemerintah meyakini bahwa kawasan hutan adalah kawasan yang bebas dari penguasaan tanah oleh warga negara.
Setelah keluarnya Putusan MK 35 ini, pemerintah pusat mengeluarkan sejulah peraturan perundang-undagan, seperti Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentang pengukuhan kawasan hutan, Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta Peraturan Bersama 4 Menteri dan Kepala BPN tentang Tata Cara Penyelesaian Pengausaan Tanah yang berada di dalam kawasan hutan.
Jauh sebelum ini, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan, seperti Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Tanah Ulayat Masyarakta Hukum Adat.
Beberapa peraturan perundang-undangan nasional lain juga memerintahkan pengaturan dan penetapan masyarakt hukum adat melalui produk hukum daerah, diantaranya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak penting untuk implementasi Putusan MK 35. Namun masih banyak pemerintah daerah yang masih ragu terhadap kewenangan ini. Sementara sejumlah peraturan daerah yang ada di berbagai kabupaten umunya masih bersifat pengaturan dan bukan bukan penetapan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan wilayahnya. Padahal, KLHK berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 meminta adanya pengaturan daerah yang bersifat penetapan sebagai syarat pengakuan hutan adat.
Saat ini Epistema Institute bersama JKPP dan Samdhana dalam kegiatan BERSAMA (Berdayakan Sumberdaya Alam melalui MHA) bekerja bersama di 5 kabupaten (Malinau, Barito Selatan, Sigi, Tambrauw dan Jayapura) untuk Pengakuan Wilayah Adat.
Sementara itu, di Kabupaten Lebak, Epistema Institute bersama RMI, Perkumpulan HuMa dan JKPP mendampingi DPRD Kabupaten Lebak untuk mendorong Peraturan Daerah Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan.
Berita tentang DPRD Lebak mendorong Perda Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan dapat dilihat di sini
Dalam dua tahun ini, apa saja perkembangan yang terjadi pasca penetapan Putusan MK 35 tersebut?
Berikut beberapa informasi yang berkaitan dengan Putusan MK 35
Kembali ke Daerah : Sebuah Pendekatan Realistik untuk Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012
Kebijakan pemerintah pusat untuk pengakuan masyarakat hukum adat masih bersifat involutif. Alih-alih maju ke depan sebagaimana dapat dilihat dari bertambahnya luas wilaya adat yang diakui, kebijakan yang ada cenderung melakukan penjelimetan ke dalam. Tak adanya adarah kebiajkan yang tegas dari Presiden, serta absennya Peraturan atau Instruksi Presiden yang memberi perintah kepada kementerian/lembaga terkait menjadi faktor penting.
Tiada cara lain selain kembali ke daerah. Legislasi, regulasi dan kebijakan nasional memberikan mandat untuk ini. Dan yang terpenting adalah melakukan pendampingan disertai pengawasan kritis kepada Pemerintah Daerah.
Makalah ini disampaikan oleh Myrna Safitri pada Diskusi memperingati setahun Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang diselenggarakan oleh AMAN dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta, 13 Mei 2014
Makalah di atas dapat diunduh di sini.
Pilihan-pilihan Hukum dan Kelembagaan untuk Implementasi Putusan Mk 35 secara realistik
Pelaksanaan Putusan MK 35 bukan sekedar menerbitkan peraturan atau melakukan pemetaan. Putusan MK ini mensyaratkan pentingnya menata ulang relasi komunitas apakah yang disebut adat atau tidak dan melakukan rekonsiliasi sosial antar komunitas yang hancur akibat pemberlakuan kebijakan masa orde baru.
Pemerintah Daeran dan Peraturan Daerah memegang peranan penting dalam pelaksanaan Putusan MK 35 ini. Pemerintah Pusat bahkan Mahkamah Konstitusi telah menyerahkan tanggung jawab kepada Daerah.
Lantas seperti apakah pilihan-pilihan hukum dan kelembagaan untuk implementasi Putusan MK 35 ini?
Bahan ini merupakan presentasi Myrna Safitri dalam Lokakarya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang diselenggarakan oleh Forest Watch Indonesia pada 11 Agustus 2014
Presentasi di atas dapat diunduh di sini.
Dibutuhkan Pengakuan Hukum Terintegrasi : Kajian Hukum Penerapan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau
Pemda Malinau merupakan salah satu pemda yang melahirkan regulasi daerah untuk mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, dengan mengundangkan Peda Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau.
Pembentukan Perda ini menjadi pembelajaran yang menarik bagi daerah lain yang sedang mendorong lahirnya kebijakan dan peraturan daerah mengenai masyarakat adat. Terbentuknya kebijakan dan peraturan merupakan langkah awal dari pengakuan hukum.
Tulisan ini ditulis Yance Arizona dalam Jurnal Wacana No. 33 Tahun XVI Tahun 2014.
Tulisan di atas dapat diunduh di sini.
Peluang Hukum Implementai Putusan MK 35 ke dalam Konteks Kebijakan Pengakuan Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah
Pemerintah daerah Kalimantan Tengah telah mengeluarkan beberapa peraturan mengenai pengakuan terhadap keberadaan dan hak masyarakat adat. Seperti Perda Kalteng No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah, yang diubah menjadi Perda No. 1 Tahun 2010. Juga Peraturan Gubernur Kalteng No. 2009 tentag Tanah Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah yang diubah dengan Peraturan Gubernur No. 4 Tahun 2012. Namun Perda tersebut belum mencukupi untuk menampung semangat pengakuan terhadap hak masyarakat adat, khususnya terhadap hutan adat. Diperlukan kebijakan baru, baik merupakan revisi terhadap Perda dan Pergub maupun kebijakan yang sama sekali baru.
Makalah ini disampaikan Yance Arizona dalam Lokakarya “Fakta Tekstual (Quo Vadis) Hutan Adat Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012” yang diselenggarakan di Palangkaraya, 20 November 2013 oleh AMAN Kalteng dan WWF Program Kalimantan Tengah.
Makalah di atas dapat diunduh di sini.
Buku “Adat dan Pemerintah Daerah”
Apakah pengaturan Masyarakat Hukum Adat merupakan kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat? Apakah hal itu merupakan urusan wajib atau urusan pilihan? Apakah Pemerintah Daerah dapat membuat peraturan untuk menetapkan Masyarakat Hukum Adat, sebelum ada undang-undang khusus mengenai Masyarakat Hukum Adat itu? Bagaimana sebaiknya membuat peraturan tersebut?
Buku “Adat dan Pemerintah Daerah” membagikan pengetahuan ihwal Masyarakat Hukum Adat. Argumentasi teoritis dan hukum yang penting difahami dalam perumusan produk hukum daerah ada di dalamnya. Selain itu, langkah-langkah praktis dan dokumen teknis juga disediakan untuk mendorong inspirasi dalam pembentukan produk hukum daerah yang baik dan berkeadilan.
Buku “Adat dan Pemerintah Daerah” dapat diunduh di sini.