Filologi Hukum dapat dipakai untuk membuktikan eksistensi hukum adat dengan sistem aksara yang merekam sejumlah ketentuan normatif.
***
Tulisan ini disarikan dari Sesi Diskusi Epistema Institute pada tanggal 30 Januari 2015 dengan narasumber Yamin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila
Orang awam sering menyebut Filologi sebagai ilmu linguistik. Filologi saat ini masuk dalam ilmu sastra. Pengertian Filologi adalah salah satu ilmu yang mempelajarai khazanah masa lampau yang dimanifestasikan dalam tulisan. Filologi sering dipadankan dengan linguistik (ilmu bahasa) klasik.
Filologi kini mencakup dua ranah, yaitu kodikologi merupakan cabang filologi yang mempelajari alas naskah, seperti kulit kayu, kulit binatang, daun, atau kertas) sebagai media tulis. Para arkeolog ada yang menekuni bidang khusus dengan mempelajari epigrafi (seperti relief, piagam, dan prasasti) serta numismatik (seperti uang logam) Ranah satunya adalah tekstologi yang merupakan mempelajari kandungan atau isi suatu naskah.
Dalam interaksi antara filolofi dan hukum, filologi menyediakan teks hukum yang ‘otoritatif’. Dan para yuris menempatkannya dalam konteks.
Dalam penelitian filologi, prosedurnya diawali dengan Inventarisasi Naskah, Deskripsi Naskah, Perbandingan Naskah, Penentuan Edisi Teks dan Komentar atau Analisis dalam Konteks.
Inventarisasi naskah dilakukan untuk menentukan jumlah dan tempat penyimpanan naskah. Inventarisasi dapat dilakukan dengan menelusuri katalogus naskah induk. Inventarisasi dilakukan untuk menentukan jumlah dan tempat penyimpanan naskah.
Inventarisasi juga dapat dilakukan dengan menelusuri katalogus naskah induk.
Yang menjadi masalah adalah ketika naskah-naskah tersebut belum diinventarisasi karena masih milik pribadi. Termasuk juga di kawasan yang tradisi lisannya lebih besar dari tradisi aksara. Seperti yang pernah ditemukan di Papua, naskah-naskah yang ditemukan disana justru banyak yang beraksara Bugis. Di beberapa tempat juga naskah-naskah yang justru dianggap keramat dan tidak boleh disentuh. Padahal isinya lebih memperlihatkan silsilah/riwayat keluarga tersebut. Harusnya ini dideskripsikan sehingga bisa diperlihatkan kepada generasi penerusnya. Saat ini para filolog masih melakukan pengkatalagusan dengan mendeskripsikan sejumlah naskha yang masih terdapat di daerah-daerah.
Deskripsi naskah fisik dilakukan dengan menerapkan disiplin ilmu kodikologi, mulai dari jenis alas naskah, ukuran, pias atau margin, jenis aksara, bahasa, jumlah halaman, jumlan baris tiap halaman, kolofon, dst. Sementara itu deskripsi isi dilakukan dengan menguraikan kandungan teks dalam naskah secara singkat.
Dalam RUU Pengakuan dan Perlindungan Hukum Masyarakat Hukum Adat (RUU PPH MHA) dinyatakan Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan Masyarakat Hukum Adat, dan atas pelanggarannya dikenakan sanksi adat. Filologi Hukum dapat dipakai untuk membuktikan eksistensi hukum adat dengan sistem aksara yang merekam sejumlah ketentuan normatif.
Van Volenhoven pernah dua kali ke Indonesia, dia pergi ke Sumatera Selatan. Pada waktu itu, Van Volenhoven akan membuat UU Simpul Cahaya yang akan dilengkapi dan dijadikan dasar bagi kebijakan se Sumbagsel.
Apakah sumber manuskrip dapat menjadi acuan dalam mempertahankan tanah ulayat? Contohnya, kasus yang sedang dihadapi oleh kawan-kawan Sunda Wiwitan. Dalam manuskrip yang dimiliki oleh mereka, disebutkan bawa tanah tersebut tidak dapat diperjualbelikan. Tetapi di pengadilan disampaikan bahwa bukti tersebut dianggap tidak cukup kuat. Bagaimana ini dapat memperkuat aturan hukum adat yang menjadi dasar bukti hukum? Sebenarnya aturan dasarnya adalah UUD 1945 pasal 18. Namun masalahnya ada di penerapannya.
Makalah lengkap Filologi Hukum Sebagai Piranti Awal Untuk Menentukan Eksistensi Hukum Adat dapat diunduh di sini.