Negara Hukum dan Keadilan Sosial
bersama
Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, SH
(Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia)

Jkt,Seleksi-01:
Jakarta,27/08. SELEKSI LANJUTAN. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assidiqie menjawab pertanyaan dari anggota panitia seleksi pimpinan KPK saat digelar ujian lanjutan di Jakarta, Kamis (26/08). Ujian berupa wawancara ini merupakan ujian tahap akhir dan diikuti oleh tujuh peserta atau calon pimpinan KPK.
Foto Si/RATMAN S
Global i-Lecture ke-2 yang diselenggarakan oleh Epistema Institute bekerja sama dengan Jimmly School of Government dan Asosiasi Filsafat Hukum Universitas Indonesia kali ini menghadirkan Prof. Jimmly Assadiqie, SH sebagai pemateri. Sebagai pengantar, Jimmly mencanangkan program i-Lecture ini akan dibuat dalam bentuk yang lebih formal seperti layaknya program perkuliahan pada umumnya. Beliau melanjutkan, sudah ada sekitar sepuluh universitas yang mengangkatnya sebagai dosen jarak jauh dengan fasilitas e-learning ini.
Seperti layaknya perkuliahan formal, program i-lecture ini akan diselenggarakan layaknya kuliah yang mereka lakukan dalam kelas di perguruan tinggi masing-masing. Dimana, mahasiswa yang hadir akan mengisi absensi dan tentunya ada evaluasi di tahap akhir semesternya. Dalam bayangan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini nantinya mahasiswa-mahasiswa di daerah akan mendapatkan standar pendidikan yang sama dengan perguruan tinggi yang ada di Jakarta atau di kota-kota besar lainnya. Tidak hanya itu, para pengajar di seluruh Indonesia mulai dari sabang sampai merauke diharapkan dapat melakukan kuliah jarak jauh dengan memanfaatkan fasilitas seperti ini.
Diawal materi, Jimmly menjelaskan bahwa perbincangan tentang konsep negara hukum itu merupakan suatu isu, ide, maupun gagasan yang sudah dibicarakan semenjak 2000 tahun SM, yakni semenjak zaman yunani kuno. Jimmly menegaskan, sampai hari ini dan akhir dari peradaban umat manusia kelak, perbincangan mengenai negara hukum akan terus dibicarakan. Begitupula dengan keadilan sosial yang merupakan salah satu impian kemanusiaan yang merupakan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam kehidupan manusia. Jadi keadilan menjadi salah satu kunci pokok manusia dalam mencapai impian hidup yang bahagia.
Terkait dengan prinsip negara hukum meunurut Jimmly sebetulnya sudah ada semenjak abad ke-18 dan 19 yang disebut sebagai konsep negara hukum klasik. Julius Stahl menyebutkan ada 4 (empat) ciri negara hukum (rechtstaat), yaitu: adanya perlindungan hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara, pemerintahan yang berdasarkan undang-undang, dan adannya peradilan administrasi negara. Ciri yang keempat ini adalah karakteristik yang paling baru dalam konsep negara hukum yang lahir pada abad ke 19, karena sebelumnya di Eropa hanya ada perkara pidana dan perdata, dikala sistem pemerintahan masih berbentuk kerajaan (monarchy).
Lembaga Peradilan pada saat itu lanjutnya hanya mengadili warga negara, bukan untuk penyelenggara negara. Bagi siapa yang melanggar perintah raja, maka perkara tersebut itu termasuk perkara pidana, dan kalau ada warga negara yang saling bertengkar dalam hubungan privat maka negara turun melerai dalam bentuk peradilan perdata. Belakangan, kelahiran pengadilan administrasi dikarenakan berkembangnya pemikiran untuk mengadili penyelenggara negara, yang kala itu adalah Raja apabila ia melanggar hukum.
Lain halnya pemahaman negara hukum dalam sistem hukum anglo saxon yang dipaparkan oleh A. V. Dicey dengan istilah Rule of law (pemeritahan oleh hukum). Jimmly menuturkan jabaran rule of law menurut Dicey tersebut adalah terdiri dari supremacy of law, Equality before the law, dan due procces of law. Sementara itu, merujuk The International Commission of Jurist, konsepsi negara hukum adalah dimana negara harus tunduk pada hukum (adannya proteksi konstitusional), peradilan bebas dan tidak memihak, kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat, adanya tugas posisi dalam sistem demokrasi, dan terselenggarannya pendidikan kewarganegaraan. Dengan demikian, secara ringkas negara hukum tersebut menurut Jimmly adalah proses kepemimpinan suatu negara yang berdasrakan aturan (hukum), bukan oleh orang atau individu. Dalam artikata, yang terpenting dalam suatu kepemimpinan negara itu adalah aturan, orang hanyalah berupa wayang yang menjalankan aturan sebagaimana mestinya.
Dalam pembukaan UUD 1945 yang menurut Jimmly berisikan impian kamanusiaan, kebangsaan dan keindonesiaan kita. Dalam Pancasila, sila pertama memuat impian kita ingin berkeTuhanan Yang Maha Esa. Negara memberikan kita kebebasan hidup berkeTuhanan, dan merupakan hak warga negara untuk mendefinisikan Tuhannya masing-masing. Kemudian, setelah kita meyakini dan mengimpikan KeTuhanan, maka yang kedua itu adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang langsung terkait dengan sila pertama. Apabila kita tidak berkeTuhanan, maka runtuhlah peradaban manusia dimuka bumi. Sebaliknya, peradaban yang tidak berakar pada prinsip keTuhanan akan hilang nilai kemanusiaannya (meaning of life).
Sila ketiga lanjut Jimmly berbicara tentang persatuan Indonesia yang bermakna solidaritas atau pluralitas yang mempersatukan bangsa. Kemudian sila keempat tentang makna keadilan berdemokrasi seperti halnya dalam pemilihan umum dan terakhir adalah tentang keadilan sosial yang merupakan kepentingan konkrit kita sebagai warga bangsa.
Dalam praktik, Jimmly menyesalkan kenapa yang paling banyak menjadi diskursus ditengah masyarakat adalah sila pertama sampai sila ke empat saja, semantara sila kelima ini yang notabene merupakan yang bersinggungan langusng dengan kehidupan masyarakat jarang sekali diperdebatkan. Padahal, keadilan sosial dalam sila kelima ini terkait dengan struktur kehidupann kita sebagai bangsa dan masyarakat. Ukuran keadilan sosial tersebut menurut Jimmly adalah apabila struktur antara elit yang paling atas dari strata sosial masyarakat dengan rakyat paling bawah tidak berbeda jauh. Makin jauh rentang struktur tersebut, maka sebenarnya makin tidak berkeadilanlah suatu tatanan masyarakat tersebut.
Dalam perekonomian misalnya, keadilan sosial itu dapat terlihat apabila pendapatan orang yang paling kaya dalam strata sosial masyarakatnya tidak begitu jauh dengan pendapatan orang yang tergolong miskin di negara tersebut. Menurut International Labour Organization (ILO), dimana pendapatan antara orang yang berada pada tingkat strata sosial yang paling atas (top level) dan kelas bawah yang berkeadilan adalah 1 : 7. Di Amerika, penghasilan senator dengan sopit taxi hanya 1: 10 atau 20, bahkan warganya yang tidak bekerja diberi tunjangan oleh negara. Sementara di Indonesia pada saat orde baru, perbandingannya sekitar 1 : 100, dan pada era demokrasi sekarang ini bisa jadi sudah mencapai 1 : 1000 bahkan lebih. Hal ini terjadi karena semua sistem hukum terlihat tampak legal namun tidak berkeadilan. Terciptanya ketidakadilan sosial yang cukup besar ini ditengarai karena demokrasi kita yang sudah tidak berfungsi dan tidak pula berisi.
Dalam negara dengan sistem demokrasi modern, ada semacam pengidealan tentang nilai-nilai kebebasan. Hal ini menurut Jimmly harus diimbangi oleh suatu keteraturan (hukum) supaya dapat menciptakan keadilan sosial bagi warga negara tersebut. Jika tidak, maka sistem demokrasi tersebut akan menciptkan kekacauan dalam dirinya sendiri. Seperti yang kita rasakan pada saat ini, dimana yang menikmati kebebasan paling banyak hanyalah para elit (penguasa), karena kebebasan tersebut secara alamiah hanya akan melahirkan pemerintahan yang bercorak oligarki. Maka apabila demokrasi tidak diimbangi dengan aturan hukum akan menimbulkan kekacauan dan pada akhirnya menghasilkan kesenjangan ditengah masyarakat.
Kebebasan yang tidak diimbangi oleh tegaknya aturan dengan sendirinya akan menghasilkan kesenjagan baik dalam bidang politik maupun ekonomi. Dalam politik di Indonesia yang berkuasa hari ini bukanlah rakyat, melainkan partai-partai politik. Lebih ironis lagi, partai politik hanya dikuasai oleh satu orang, yakni pimpinan partainya. Maka, jika ada 9 partai di parlemen, maka sesungguhnya yang menentukan nasib bangsa kita hanyalah 9 orang itu saja. Maka inilah yang dinamakan oleh oligarki, dimana para oligar akan meneruskan generasinya kepada anak-anaknya seperti kepada masa Dinasti. Inilah fakta yang paling nyata disebabkan akibat kebebasan yang tidak diimbangi oleh rule of law tersebut.
Dalam sesi dialog, beragam pertanyaan muncul dari perserta, baik yang berada di ruangan dan juga yang terhubung dengan fasilitas i-lecture tersebut. Misalnya, Jasnen yang merupakan mahasiswa hukum President University yang mempertanyakan kapan keadilan sosial bisa terwujud dalam kondisi hukum yang kacau seperti saat sekarang ini. Kemudian, Pramudya peserta i-lecture dari Semarang yang mengeluhkan mahalnya demokrasi bangsa ini yang dalam praktiknya belum mampu mengadirkan keadilan sosial ditengah masyarakat. Sementara itu Anam dari University of Queensland, Australia, memandang perlunya dibentuk lembaga negara baru untuk memperbaiki keadilan sosial yang timpang tersebut.
Kebobrokan demokrasi kita saat ini menurut Jimmly tidak bisa ditimpakan kepada salah satu pihak saja. Hanya saja, pemimpin kita pada sat ini lebih mengutamakan popularitas, bukan kinerja. Padahal dalam hal pembenahan harus berani membuat kebijakan yg tidak popular. Persoalannya terletak pada arah pembenahan pemerintahan hanya pada konteks keadilan hukum saja. Padahal jika keadilan sosial tidak diletakkan dalam bingkai keadilan hukum, maka yang tampak kemudian adalah hukum yang terlihat legal (sah) tapi sebenarnya tidak memberikan keadilan sama sekali.
Untuk memperbaikinya, tidak perlu dibentuk lembaga baru, hanya saja paradigma pembangunan yang harus diubah yaitu kebijakan yang berbasis keadilan sosial (social base development). Misal, memungut pajak progresif bagi orang kaya dan memberikan insentif kepada jenis usaha yang padat karya. Atau dengan kata lain membuat kebijkan afirmatif untuk kelas menengah dan kelas bawah agar ketimpangan ekonomi bisa diminimalisir.
Demokrasi yang mahal menurut Jimmly tentu tidak harus dipersalahkan karena secara prinsip, demokrasi pasti lebih mahal dari pada non demokrasi. Tapi kita lupa bahwa demokrasi butuh efisisensi. Maka para pemimpin harus menghitung agar demokrasi bisa menguntungkan rakyat. Misal, menghilangkan jabatan wakil kepala daerah karena memang praktek di negara maju, wakil kepala daerah itu hanya ditunjuk. Sebagai mantan hakim konstitusi, Jimmly sangat menyadari bahwa transisi demokrasi di Indonesia memang harus membutuhkan waktu yang cukup lama, tidak seperti Rusia yang hanya membutuhkan waktu 10 tahun (RS).