Global i-Lecture 3
Menim(b)ang Keadilan Ekologis
Bersama
Dr. Al. Andang L. Binawan
(Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara)
Setelah menelisik dinamika hukum dan keadilan sosial bersama Prof. Jimmly Assadiqie, Global i-Lecture yang diselenggarakan oleh Ephistema Institute bekerjasama dengan Jimmly School of Goverment dan Asosiasi Filsafat Hukum Universitas Indonesia kembali hadir dengan tema yang lebih spesifik tentang upaya pencarian keadilan. Kali ini, Dr. Al. Andang L. Binawan membawa kita lebih jauh meneliti tentang relasi antara manusia sebagai individu dan masyarakat dengan alam, yang menurut Prof. Arif Sidharta dalam sambutannya tentang masalah ekologi menjadi masalah terbesar umat manusia dewasa ini.
Beranjak dari suatu konsep keadilan, dimana menurut Andang, adil itu hanya bisa dirasakan oleh pengalaman, dan latarbelakang masing-masing orang. Sebagai konsep yang abstrak, mulai dari Aristoteles sampai pada John Rawls, suatu keadilan tidak bisa didefinisakan, dan masih ada kritik disana-sininya sampai saat sekarang. Tetapi kecendrungannya, orang akan mulai bebicara adil ketika ia berada dalam posisi ketidakadilan. Masalah ketidakadilan ini sebenarnya telah ada semenjak masyarakat Yunani kuno yang menganggap budak-budak sebagai warga kelas dua, diskriminasi ras warga kulit hitam di Amerika sampai pada tahun 1970 dan perempuan diberbagai negara. Demikian juga ketidakadilan terhadap bangsa, masyarakat, kelompok, agama, dan ekologis dimana kerusakan lingkungan telah terjadi dimana-mana. Maka keadilan sesungguhnya menurut Andang mulai direfleksikan dari adannya suatu ketidakadilan.
Andang mulai menjelajahi makna keadilan ekologis dengan mulai menapaki makna dari keadilan personal, dan keadilan sosial. Jika suatu keadilan personal terkait dengan relasi individu dengan individu, yakni terkait dengan cara yang satu memperlakukan orang lain, maka kemudian kaitan Individu dalam relasinya dengan masyarakat adalah keadilan komutatif (kesetaran). Ketika masyarakat didefinisikan sebagai suatu entitas tersendiri maka muncul apa yang kita sebut sebagai keadilan sosial. Sosial yang berarti “socius” atau yang berarti teman, maka keadilan disini dimaksudkan bagaimana kita menyedikan sarana-sarana yang penting untuk hidup bersama agar kita dapat hidup sebagai teman dengan baik. Sementara keadilan ekologis (ekososial) dimaknai sebagai suatu jaminan hidup yang baik bagi masyarakat manusia dalam kaitan erat dengan lingkungan hidupnya yang pada akhirnya memberi hidup yang berkelanjutan bagi keduabelah pihak.
Corak Keadilan
Hal menarik dari pemaparan Andang terkait dengan pemahaman keadilan yang sering kali bermakna abstrak, yakni ia membagi kedalam beberapa unsur atau ia yang sebut sebagai “unsur penimbang” yang harus ada jika kita berbicara baik itu keadilan individu, keadilan sosial maupun keadilan ekologis. Unsur penimbang dari makna keadilan adalah terdiri dari pokok masalah, isi, cara mencapai, ruang lingkup, dan persoalan filosofisnya.
Pokok masalah dari keadilan personal adalah “hidup manusia” yang bukan hanya sekedar hidup, tapi hidup yang lebih baik. Keadilan disini diwujudkan apabila manusia dapat memperbaiki kualitas kehidupannya, baik dari sisi makanan, hunian, pakaian, pendidikan, kesehatan yang lebih baik. Dalam keadilan sosial, masalah yang ditemui adalah seputar realasi (peran dan posisi) individu dengan masyarakatnya. Sementara dalam keadilan ekologis, manusia dihadapkan pada perkara hidup bersama antara individu dengan semua makhluk yang ada di bumi, baik relasi dan juga keadilan bagi alam. Andang juga menekankan tentang makna “Ekologi” yang sering kali orang lupa. Dimana menurutnya ekologi adalah ilmu tentang dunia yang berasal dari kata “oiskos” yang artinya rumah bersama. Ia menambahkan dunia sebagai suatu ekosistem yang dipelajarai oleh ekologi dan dirumuskan aturannya dalam ekonomi. Maka sudah sewajarnyalah ilmu ekonomi harus memiliki cakrawala dari ekosistem dan ekologi.
Isi keadilan personal menurut Andang adalah berupa pengakuan akan harkat dan martabat manusia, yang berupa pemberian hak, kesempatan dan kebebasan yang sama bagi setiap manusia. Didalamnya juga memiliki prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi dan memiliki nilai hormat-menghormati, kesalingan (keterkaitan) dan tanggungjawab. Keadilan sosial berisikan tentang barang, sumber daya alam, jasa, dan sarana dan prasaran sosial. Disitu juga harus ada pengakuan dari kelompok-kelompok sosial seperti kelompok-kelompok agama. Prinsip pahala dan ganjaran adalah corak yang paling jelas dalam keadilan sosial ini yang merupakan hasil penilaian dari interaksi dalam masyarakat. Sementara itu distribusi sumber daya alam bagi manusia merupakan isi dalam keadilan ekologis. Pengakuan dan menghormati pada keadilan alam dan prisip kesalingan/keterkaitan juga menjadi poin krusial dalam keadilan ekologis.
Baik itu keadilan personal, sosial maupun ekologis, cara untuk menuju kepada keadilan tersebut adalah bagaimana menguatkan sistem hukum yang ada. Dalam keadilan personal, sistem hukum itu harus menjamin adannya fairness dan partisipasi yang luas dari masyarakat. Dalam keadilan sosial, sistem hukum yang harus dibangun adalah yang mengarah kepada perbaikan struktur sosial dalam masyarakat. Andang mencontohkan misalnya peran istri yang selama ini selalu timpang dengan suami sebagai kepala rumah tangga dalam lingkungan masyarakat yang paling kecil. Sistem hukum harus diarahkan kesana untuk menjamin keadilan sosial ini. Kemudian untuk keadilan ekologis, pembangunan sistem hukum harus diarahkan menuju sistem ekonomi yang berkelanjutan.
Ruang lingkup yang merupakan batasan pembicaraan tentang keadilan personal adalah hanya sampai pada relasi antara individu dengan individu yang setara seimbang. Dalam keadilan sosial ruang lingkup lebih diperluas, baik antara individu dengan masyarakat (keadilan distributif), individu dengan negara dimana negara memiliki peran yang cukup besar untuk mewujudkan keadilan sosial (bukan hanya sebagai negara penjaga malam), dan negara dengan negara dalam konteks pergaulan masyarakat internasional. Sementara itu, dalam keadilan ekologis batasan pembiacaraan meliputi individu dengan alam, dengan masayarakat internasional, dan dengan generasi yang akan datang.
Terakhir dan tak kalah penting dari corak yang menjadi penimbang keadilan itu adalah persoalan penerapan filosofis. Dalam keadilan personal, siapakah manusia menjadi pertanyaan paling besar. Hal ini direfleksikan dari peristiwa-peristiwa perbudakan, diskriminasi ras dan gender yang mengalienasi kelompok tertentu dari manusia dari atribut atau ciri fisiknya. Karena bersifat filosofis, maka pertanyaan tentang “Siapakah manusia” tidak perlu dijawab karena hal itu yang akan memperluas cakrawala tentang keadilan itu sendiri. Pertanyaan filosofis dalam keadialan sosial diperluas menjadi siapa masyarakat dan negara. Sementara, dalam keadilan ekologis, pertanyaannya ditujukan kepada manusia tetang arti alam bagi mereka dan arti hubungan manusia dengan masyarakat intenasional.
Penerapan Keadilan Ekologis
Pertanyaan yang muncul terkait dengan penerapan keadilan ekologis yang harus didahului dengan terwujudnya keadilan personal dan keadilan sosial diakui Andang secara teoritis, keadilan ekologis itu mencakup keadilan sosial dan keadilan yang lebih personal, tapi dalam praktik belum tentu demikian. Namun, menurut Andang kalau dalam negara dengan kemauan politik yang ingin memfokuskan dan menggarap dengan sungguh-sungguh pada keadilan ekologis, maka keadilan yang lain akan terjamin.
Dengan penalarannya terhadap masalah pertumbuhan manusia, Andang memandang pengurangan kenikmatan hidup bagi manusia yang acap kali dituding sebagai masalah pada lingkungan (alam) bukan berarti menghilangkan manusia. Akan tetapi bagaimana kita mengelola manusia untuk meminimalisir kelahiran dan prilaku manusia yang merusak alam. Contoh lain misalnya dalam penggunaan bahan-bahan yang tidak ramah lingkungan seperti plastik. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak mungkin kita hidup tanpa bahan-bahan dari plastik, tapi yang diperlukan adalah bagaimana kita seminimal mungkin munggunakan bahan-bahan dari plastik. Kemudian dalam masalah ekplorasi sumber daya alam, yang dipersoalkan ebenarnya adalah bagaimana pendistribusiannya dan akibat-akibat dari kegiatan pertambangan dengan alam itu sendiri, bukan pada kegiatan eksplorasinya. Hal ini didasarkan karena alam secara filosofisnya disediakan untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia.
Ia menambahkan lagi , manusia selalu memiliki kelemahan, tapi secara filosofis kelemahan itu yang membuat kebudayaan. Salah satu kelemahan tersebut adalah manusia itu bersifat egosentris. Egosentrik ini kalau selalu diikuti, itu yang akan menyebabkan homo ekonomicus. Kalau manusia tidak egosentrik tidak aka nada ekonomi, karena ekonomi selalu terkait dengan keutungan dan terkait dengan sifat dasar manusia. Kalau diikuti lebih jauh akan menjadi serakah dan egois. Yang paling penting dari suatu keadilan adalah bagaimana kita mengelola diri sebagai pribadi, sebagai society dan bagian dari ekologi.
Sebagai bahan refleksi, ia mengajak kita untuk memaknai relief burung dengan dua kepala yang ada pada candiBorobudur. Satu kepala burung melambangkan sifat yang tamak (serakah) dan yang satu bijak. Ketika kepala burung yang tamak memakan makanan beracun, padahal sudah diperingatkan sebelumnya oleh kepala burung yang bijak, maka burung itu akan mati. Jadi dalam relasi dengan masyarakat yang ada dimuka bumi, apabila salah satu ada yang tamak, menggerogoti hasil bumi tanpa berfikir untuk kesinambungan, maka kerusakan akan menimpa semua umat manusia yang ada di dunia.(RS)
Global i-Lecture Dr. Al. Andang L. Binawan part 1
Global i-Lecture Dr. Al. Andang L. Binawan part 2