Siaran Pers Konferensi Nasional III Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia pada 27 Agustus 2013.
Hukum Tanpa Moral Bukanlah Hukum
[Surabaya, 27 Agustus 2013] Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.S., LL.M. dalam makalah pada Konferensi Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia menuliskan, “Ternyata, baru saya mengerti bahwa mereka mengira saya seorang positivis yang menyamakan hukum dengan undang-undang. Mereka menjadi semakin heran ketika saya memberi perumpamaan bahwa tahu (taufu) berasal dari kedelai; kalau makanan berbentuk tahu tetapi tidak dibuat dari kedelai bukanlah tahu. Akan tetapi, tahu bukan kedelai dan sebaliknya kedelai juga bukan tahu. Sama halnya, aturan jika tidak berdasar moral bukanlah hukum; akan tetapi hukum bukan moral dan moral bukan hukum.”
Prof. Peter Mahmud Marzuki menyampaikan perumpaan hubungan antara hukum dan moralitas dengan tahu dan kedelai. Perdebatan ini sebenarnya merupakan perdebatan klasik dalam kajian hukum, sekaligus menjadi kunci perdebatan antara positivisme hukum dan teori hukum kodrat yang dibahas dalam Konferensi Nasional Ke-3 Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI). Sementara itu, Dr. Shidarta, S.H., M. Hum yang tampil sebagai panelis mengajukan pertanyaan provokatif, bila hukum tanpa moral bukanlah hukum, lalu dari mana moral itu berasal? Apakah dari Tuhan atau ditentukan oleh penguasa?
Polemik antara hukum dan moralitas dibahas dalam konferensi yang diselenggarakan pada 27 – 28 Agustus 2013 di Kampus Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Kegiatan ini terselanggara berkat kerjasama antara Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Epistema Institute dan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya. Forum ini menjadi arena bertukar pikiran, melakukan refleksi dan memperkuat jaringan yang dihadiri oleh 106 pemakalah yang akan dibahas dalam 25 sesi diskusi panel.
Sebagian besar pemakalah menyoroti tentang gagasan dasar teori hukum kodrat dan positivisme hukum, baik dalam tataran konseptual maupun dalam berbagai praktik pembentukan dan penegakan hukum. Dengan latar belakang pemakalah yang beragam, mulai dari dosen, peneliti, aktivis, serta mahasiswa, gagasan yang disampaikan pun sangat kaya akan wawasan baru, kreatif, bahkan melintasi disiplin keilmuan hukum sendiri.
Konferensi AFHI ini merupakan konferensi ketiga. Konferensi pertama dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung pada tahun 2011 dan kedua dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas Soegijapranata, Semarang di tahun 2012. Donny Danardono, Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), menyampaikan bahwa kegiatan konferensi kali ini diharapkan bisa lebih mengembangkan filsafat hukum di Indonesia dan dapat berjalan secara serius dan gembira.
Sementara itu, Prof. Dr. Mohammad Zaidun, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga sebelum membuka acara menyampaikan relevansi keberadaan filsafat hukum dalam menjawab persoalan hukum. “Seringkali, persoalan hukum yang tidak terjawab akan mencari jawaban dari peraturan. Bila tidak memuaskan maka akan naik mencari jawabannya pada asas hukum. Demikian pula, bila masih belum meyakinkan akan naik lagi mencari jawaban kepada filsafat hukum. Sehingga, filsafat hukum menjadi tumpuan akhir untuk mencari jalan keluar dari persoalan hukum.”
Hadir pula Prof Abdul Gani Abdullah, Hakim Agung yang mewakili Ketua Mahkamah Agung sebagai pembicara kunci dalam menceritakan bagaimana dilema positivisme hukum dan teori hukum kodrat hadir dalam pengambilan keputusan oleh hakim di pengadilan.
Pada hari kedua, tampil sebagai panelis antara Romo A. Widyarsono, SJ, M.Phil. dan Donny Danardono, S.H., M.A. akan membahas tentang Bahasa, Positivisme Hukum dan Keadilan. Di hari kedua juga diadakan Peluncuran Buku Seri Tokoh Hukum Indonesia yang berjudul “Mohammad Koenoe dalam Pengembaraan Gagasan Hukum Indonesia”. Dan kegiatan konferensi akan diakhiri dengan Konggres Anggota AFHI yang akan memilih Ketua AFHI Periode 2013 – 2014.
“Harapannya, konferensi ini dapat menyumbangkan pemikiran tentang materi mata kuliah Filsafat Hukum dengan memasukkan berbagai pemikiran hukum kontemporer yang lebih memadai untuk menelaah hukum,” terang Dr. Myrna Safitri, PhD, Direktur Eksekutif Epistema Institute. [ ]