Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Ferry Mursyidan Baldan mengapresiasi reforma agrarian dan akan bersungguh-sungguh untuk menyelesaikan berbagai hal yang berkaitan dengan pertanahan.
“Saya apresiasi terhadap reforma agraria, dan sungguh-sungguh akan menyelesaikan berbagai hal yang berkaitan dengan pertanahan”, demikian yang disampaikan oleh Ferry Mursyidan Baldan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN pada Workshop Tindaklanjut KNRA: Konsultasi Nasional dan Perumusan Peta Jalan Baru Gerakan Reforma Agraria pada 4 Desember 2014.
Ferry juga mengajak masyarakat sipil untuk menyusun desain bersama untuk 5 tahun ke depan untuk menyelesaikan berbagai konflik pertanahan. Desain ini juga diperlukan terkait penyediaan lahan untuk pembangunan Negara. Seperti ketahanan pangan, infrastruktur, tol laut, pembangkit listrik, batas wilayah dan pulau-pulau terluar.
Dalam penyelesaian sengketa, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN justru sangat berharap pada peran-peran NGO, karena memiliki data dan informasi di lapangan. “Saya sebagai Menteri tidak melihat besar atau kecilnya, saya tidak menghitung berapa hektar dalam satu KK. Karena yang kita hadapi adalah perasaan atau emosional di masyarakat.”
Terkait tanah terlantar, Ferry menyampaikan bahwa saat ini upaya yang dilakukan sedang mandeg. “Tanah terlantar itu banyak. Di Jakarta saja seperti di Jalan Sudirman ada tanah terlantar. Dari pengalaman di DKI Jakarta dan Jawa Barat saja datanya tidak sama dengan yang di Kementerian Agraria. Sehingga kita hentikan dulu dan kita serahkan kepada Presiden untuk diputuskan. Terkadang data di lapangan juga tidak valid, karena data sudah lampau.”
Ferry juga menyampaikan betapa pentingnya kebaruan data. “Data tahun 2011 – 2012 itu sudah lampau. Harusnya data itu 1 minggu yang lalu.” Ferry juga mengajak NGO untuk membuat roadmap.
Noer Fauzi Rachman, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute mendorong agar para pemimpin serikat petani harus kembali ke daerah. “Sekarang saatnya gerakan aktivis pulang ke kampung. Reforma agraria bukan hanya sekedar justifikasi elit-elit dalam kepemimpinan populis, namun perlu mewujudkan secara langsung di lapangan, dengan sungguh-sungguh menciptakan pemimpin-pemimpin lokal.”
Workshop ini merupakan tindak lanjut Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) yang telah diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama 37 lembaga non pemerintah pada 22 – 23 September 2014 lalu. Hasil KNRA melahirkan beberapa rekomendasi untuk pemerintahan baru, antara lain menuntut pemerintah untuk menempatkan menempatkan TAP MPR No.IX/MPR RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sebagai rujukan politik hukum dalam menyusun agenda legislasi, regulasi dan kebijakan bagi pelaksanaan reforma agrarian, mendesak pemerintah untuk tetap menjalankan UUPA, mendorong pelaksanaan reforma agrarian, mendesak program redistribusi tanah bagi rakyat miskin sebagai bagian dari landreform agar segera dijalankan, mendorong pemerintah untuk memfasilitasi pembentukan bad an usaha milik petani atau koperasi yang dikelola petani, menuntut Negara menyediakan pembiayaan yang kuat bagi reforma agrarian, mendeesak pemerintah untuk membentuk mekanisme dan kelembagaan khusus yang menangani dan menyelesaikan konflik agrarian, mendesak pemulihan hak-hak rakyat yang menjadi kornam konflik agrarian dan menghendaki kelembagaan pengelolaan sumber-sumber agraria dijauhkan dari sektoralisme.
Workshop ini dilaksanakan selama dua hari, 4-5 Desember 2014, dan bertempat di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat. Hari kedua workshop ini menghasilkan Roadmap atau peta jalan penyelesaian konflik agraria di tiga sektor utama yang menjadi prioritas, yaitu; reforma agraria kehutanan di Jawa khususnya di sektor Perhutani; reforma agraria khususnya pengakuan wilayah adat; dan reforma agraria di sektor perkebunan. Juga me-review kembali perizinan di sektor perkebunan. Dalam workshop ini juga terbentuk wadah perjuangan bersama untuk mengawal dan memastikan terlaksananya reforma agraria yang disebut dengan Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). [Oleh : Malik]