RANGKUMAN HASIL DIALOG NASIONAL NEGARA HUKUM
“Negara hukum” ternyata tetap menjadi isu besar dan strategis untuk sebuah negara RepublikIndonesiayang telah memasuki usia 67 tahun. Isu tersebut menuntut kajian dengan rentang topik yang sangat luas, mulai dari pemaknaan konseptualisasi Pancasila sampai penjabarannya pada hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional. Ada sejumlah isu yang lebih operasional terkait dengan hak-hak dimaksud, seperti isu tentang pendidikan tinggi, kebebasan atas informasi dan media, akses terhadap peradilan bagi kaum miskin dan masyarakat adat, yang pada gilirannya juga menyentuh problematika tentang mekanisme ketatanegaran, legislasi, dan legisprudensi.
Atas dasar topik-topik tersebut, dapat ditarik beberapa simpulan yang dihasilkan dari dialog nasional negara hukum ini:
- Dalam tataran ide, eksistensi Pancasila telah mendapatkan penguatan dalam arsitektur negara hukumIndonesia, namun masih menyisakan persoalan-persoalan mendasar terkait pada tataran norma dan implementasi.
- Pengejawantahan negara hukumIndonesiamembutuhkan penataan, yaitu penataan ke dalam sistem hukum dan kemudian sistem norma hukum. Sistem-sistem tersebut membutuhkan harmonisasi, yang tidak hanya berangkat dari bahan lokal, melainkan juga kecenderungan perkembangan global, sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya hibrida antara nilai-nilai lokal, agama, dan asing.
- Di sisi lain ada jurang (gap) antara konseptualisasi Pancasila dengan beberapa rumusan legalisasi peraturan perundang-undangan sampai pada implementasinya di lapangan. Kesenjangan inilah yang mengakibatkan wacana tentang Pancasila, termasuk tentang wacana negara hukum berbasis Pancasila, berpotensi untuk dipandang usang dan irelevan dengan aspek kekinian bangsa Indonesia.
- Untuk mengatasi kesenjangan di atas, diperlukan alat untuk menilai kualitas legislasi dan proses legislasi yang bisa mendekatkan isi undang-undang dengan cita keadilan. Dalam konteks inilah perlu dibuka ruang yang lebih besar untuk kelompok-kelompok kepentingan di dalam masyarakat untuk ikut serta dalam proses legislasi, sehingga muatan legislasi bisa didekatkan sedekat mungkin dengan kondisi sosial yang ada.
- Harus diwaspadai bahwa proses legislasi juga tidak boleh sampai tersandera oleh rancangan undang-undang yang sejak semula telah memiliki kecenderungan membangkitkan rezim yang represif dan/atau membatasi kegiatan kelompok masyarakat sipil, sebagaimana pernah ditunjukkan daslam RUU Keamanan Nasional dan RUU Organisasi Masyarakat.
- Upaya mengaktualisasikan legislasi yang paling fenomenal memang telah dilakukan justru pada tataran paling tinggi, yakni dalam bentuk amandemen UUD 1945. Kendati demikian, upaya tersebut bukanlah tanpa risiko, melainkan justru menyisakan sejumlah polemik, seperti soal wewenang DPD dengan DPR dan proses legislasi.
- Checks and balances yang diperagakan dalam UUD 1945 hasil amandemen, perlu dicermati secara kritis, sekalipun bukan berarti harus ditolak. Kita perlu melihat checks and balances dari esensinya, bukan penamaannya dan kecurigaan yang disebabkan karena ketakutan akan transplantasi hukum. Esensinya adalah mengelola relasi kekuasaan antarlembaga negara agar pada akhirnya bisa mendorong adanya keseimbangan kekuasaan, sehingga tidak ada satu lembaga pun yang mempunyai kekuasaan terlalu besar sehingga uncontrollable dan potensial diselewengkan.
- Salah satu fungsi checks and balances ini diperankan oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini merupakan institusi yang penting dalam konteks negara hukum, sehingga kualitas putusan dan integritas hakimnya perlu dipelihara dengan adanya kejelasan mengenai batas wewenang memutus Mahkamah Konstitusi dan mekanisme pengawasan hakim.
- Terlepas dari kinerja Mahkamah Konstitusi yang kerap diapresiasi banyak pihak, reformasi pengadilan secara umum belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan termarjinalkan, misalnya para pencari keadilan yang memiliki kebutuhan khusus, seperti perempuan, difabel, dll.
- Upaya pembaruan peradilan sudah dilakukan sejak reformasi, mulai dari Konstitusi sampai kebijakan kelembagaan. Tapi sayangnya upaya pembaruan tersebut masih terpisah-pisah (fragmented). Masing-masing lembaga peradilan (kepolisian, kejaksaan, kehakiman) menyusun agendanya sendiri berdasarkan kewenangannya, sehingga terkadang tumpang tindih dan tidak bersinergi menghasilkan sistem peradilan yang bisa memaksimalkan akses pencarian keadilan.
- Reformasi pengadilan di Mahkamah Agung dan di beberapa daerah (yang sering dijadikan model), ternyata belum berdampak linier pada pengadilan-pengadilan di tingkat di bawah. Di tingkatan tersebut masih ditemukan beberapa fakta bahwa pencari keadilan tidak bisa mendapat putusan pengadilan.
- Reformasi pengadilan juga belum berdampak pada integritas hakim. Reformasi Pengadilan telah dilakukan melalui blue print MA pertama dan kedua, tapi pada saat yang sama persepsi masyarakat terhadap kualitas pengadilan masih buruk.
- Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tentang perlindungan terhadap hak-hak konstitusional waga negara. Hak-hak ini diidentifikasikan masih terkendala oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan pembangunan yang tidak memberikan jaminan yang kuat pada perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warga masyarakat hukum adat dan warga masyarakat lain terutama yang berada di wilayah perbatasan.
- Pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-haknya menjadi salah satu agenda penting untuk memenuhi hak-hak konstitusional warga. Jaminan hak masyarakat hukum adat dalam UUD 1945 masih memerlukan beberapa penafsiran terkait dengan posisi masyarakat hukum adat dalam sistem pemerintahan, dalam penguasaan tanah dan kekayaan alam serta dalam pembangunan kebudayaan.
- Pengakuan sebagaimana dimaksud di atas ditunjukkan dalam beberapa rancangan legislasi. Untuk itu inisiatif RUU Desa dan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, misalnya, perlu dibahas bersama untuk memastikan adanya sinergi terkait dengan kejelasan kebijakan negara terhadap masyarakat hukum adat. Inisiatif pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap pengetahuan tradisional masih kurang.
- Pluralitas hukum dan ketidakmampuan peradilan negara memberikan keadilan pada rakyat membangkitkan kebutuhan terhadap penyelesaian konflik berbasis hukum adat atau hukum rakyat. Meskipun demikian, masih terdapat kendala terkait dengan legalitas peradilan adat, kemampuan fungsionaris hukum adat memberikan keadilan bagi kelompok miskin dan perempuan.
- Konseptualisasi negara hukum tidak hanya bersifat antroposentris tetapi juga perlu memperhatikan adanya jaminan keadilan lingkungan. Upaya-upaya mewujudkan keadilan lingkungan dilakukan melalui perbaikan tata kelola pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Tidak terintegrasinya kelembagaan sumber daya alam menyebabkan ketidakjelasan koordinasi dan tanggung jawab pelestarian lingkungan. Keberadaan sebuah undang-undang yang dapat memberikan arah bagi pengelolaan sumber daya alam, mutlak diperlukan.
- Penegakan hukum lingkungan masih lemah karena peraturan perundang-undangan yang kurang jelas, kurang memadainya pengetahuan masyarakat maupun pemerintah dan penegak hukum, kurang memadainya kemampuan hakim dalam memutus perkara lingkungan, perilaku hakim sangat legalistik, institusi peradilan yang belum sepenuhnya mandiri. Atas dasar ini diperlukan konsistensi Mahkamah Agung dalam pelaksanaan sertifikasi hakim-hakim yang akan memutus perkara lingkungan. Selain itu, MA perlu menyiapkan upaya-upaya untuk mendorong terbentuknya pengadilan lingkungan.
- Proyek-proyek dan izin-izin usaha pemanfaatan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam belum membuka peluang partisipasi rakyat yang luas, korupsi di sektor sumber daya alam menjadi faktor ekstraksi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi pada berbagai usaha-usaha pemanfaatan sumber daya alam di bidang pertambangan, perkebunan, dan kehutanan.
- Dalam konteks ini, maka dituntut adanya hukum administrasi yang jelas dengan penegakannya yang konsisten. Hal ini diperlukan untuk menjamin perizinan lingkungan dan sumber daya alam agar menjadi alat pengendalian pemanfataan lingkungan dan sumber daya alam.
- Salah satu konstruksi negara hukum yang perlu diperlihatkan secara berkesinambungan adalah pengupayaan untuk hidup bersama menuju cita keadilan. Kendati demikian, disadari bahwa jaminan perlindungan HAM yang diberikan konstitusi belum memastikan tegaknya HAM karena tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Isu kebebasan beragama serta pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya bisa digunakan sebagai cermin untuk memperlihatkan betapa rendahnya praktik pemenuhan HAM di Indonesia.
- Selain itu, tanpa penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, maka prinsip-prinsip negara hukum sebenarnya telah disangkal dan tidak terimplementasi. Dengan perkatan lain, tanpa adanya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, negara hukum tidak bisa dilaksanakan secara ideal.
- Pers sebagai pilar penting dalam negara hukum Indonesia semula menunjukkan kecenderungan menggembirakan pasca gerakan reformasi. Sayangnya, peran vital media ini dalam perkembangan berikutnya mulai terjebak pada dominasi kapitalis (konglomerasi media) yang notabene berpotensi mereduksi kebebasan informasi dan media.
- Kelompok kelas menengah yang diharapkan menjadi agen perubahan untuk mendorong penguatan peran media, ternyata juga masih belum bisa diandalkan baik dari jumlah maupun tingkat keterlibatan mereka. Perhatian kelompok ini masih terfokus pada isu-isu yang berkaitan langsung dengan kepentingan mereka, dan belum secara intensif memasuki wilayah-wilayah kepentingan publik yang lebih luas.
- Terlepas dari adanya putusan-putusan pengadilan yang sporadis dengan mengesankan keberpihakan pada penguatan atas kebebasan informasi dan media, ternyata di sisi lain terdapat sejumlah regulasi yang justru mengancam kebebasan tersebut, seperti masih dipertahankannya rumusan delik pencemaran nama baik, dll.
- Institusi pendidikan tinggi juga memegang peran yang tidak kalah pentingnya, mengingat dari lembaga inilah akan dilahirkan barisan kelas menengah yang menjadi tulang punggung penguatan negara hukum Indonesia. Sayangnya, pendidikan tinggi hukum kita diidentifikasikan masih berkutat pada beberapa kelemahan substantif, yaitu paradigmatika pendidikan tinggi hukum yang terlalu memasrahkan diri melayani kebutuhan pasar dan didominasi pada pelayanan terhadap kebutuhan profesional serta makin menjauh dari upaya pencarian kebenaran ilmiah.
- Dalam rangka menghadapi problematika di atas, model-model pendidikan tinggi hukum kita perlu diubah secara fundamental, dengan mengubah paradigmatika pendidikan hukum yang keluar dari corak positivistis dan berorientasi pada optik preskriptif. Dengan orientasi ini, peserta didik diajak untuk berani menjawab permasalahan keilmuan hukum secara dialektis-kritis terkait dengan kenyataan sosial yang riil mereka hadapi di lapangan.
- Pendidikan hukum klinis dan pemanfaatan program-program paralegal juga membutuhkan penajaman di lembaga pendidikan tinggi hukum kita dewasa ini, sehingga pendidikan hukum kita tidak terjebak pada sekadar penguasaan rumusan norma-norma hukum tertulis, tetapi juga menajamkan aspek kepedulian mahasiswa/lulusan terhadap lingkungan dan masyarakat di sekitar mereka.