Dalam menyambut 11 Tahun Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35 tahun 2012 dan juga putusan gugatan kelalaian pemerintah melakukan percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama koalisinya 16 Mei nanti, AMAN menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “11 Tahun Putusan MK 35 & Pemenuhan Hak Konstitusional Masyarakat Adat di Indonesia” pada Senin (13/05) di Rumah AMAN, Jakarta Selatan. Seminar ini pun dipantik Sulistyowati Irianto, Yance Arizona, Cindy Julianty, Syamsul Hadi dan Erasmus Cahyadi.
Seminar ini memaparkan peristiwa apa saja yang terjadi selama 11 tahun itu. Erasmus Cahyadi memulainya dengan membahas penghilangan kata “negara” dalam putusan MK 35 ini.
Menurut Erasmus, putusan ini berimplikasi pada batalnya penguasaan negara terhadap hutan adat dan kembalinya penguasaan hutan kepada masyarakat adat. Hal ini, berkaca pada Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang pada pasal 1 angka 6 menyebutkan jika hutan adat termasuk hutan negara.
Namun, pada perkembangannya putusan MK ini seolah “tertimbun” dengan munculnya beberapa peraturan baru yang beririsan dengan Masyarakat Adat.
Peraturan yang dimaksud antara lain Peraturan Menteri (Permen) Kehutanan Nomor 62 tahun tentang Pengukuhan Kawasan Hutan, Permen Lingkungan dan Kehutanan soal Hutan Adat dan Perhutanan Sosial, Permen Dalam Negeri Nomor 52 tahun 2014 soal Pedoman pengakuan Masyarakat Adat, hingga Permen Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN) 14 Tahun 2024 yang baru.
Erasmus pun mengatakan jika pergantian Permen ATR/BPN yang berkaitan dengan masyarakat adat itu mengerikan. “Respon Kementerian ATR/BPN yang mengonta-ganti Permen tapi tanpa implementasi pada masyarakat adat itu mengerikan “, tambah Erasmus.
Erasmus melihat gejala ini sebagai upaya pelemahan dan pembelokan terhadap komitmen yang termuat pada Putusan MK 35 itu. “…. yang dibelokan adalah pengakuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya”, tambah Erasmus.
Erasmus juga melihat banyak kebijakan pasca MK 35 justru menimbulkan ancaman bagi masyarakat adat dalam memperjuangkan pengakuannya. Mulai dari UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Cipta Kerja, UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Segendang sepenarian, Yance Arizona juga melihat 11 tahun pasca keputusan MK itu masih banyak masalah yang belum terselesaikan. Konflik yang bersinggungan dengan masyarakat adat menyebabkan perampasan wilayah, kriminalisasi hingga kekerasan.
Menyitir data yang dirilis AMAN, sepanjang 2023 terdapat 2.578.073 hektare, 100 rumah masyarakat adat digusur, 247 orang dikriminalisasi, 204 orang luka-luka hingga 1 orang meninggal.
Namun, Yance tetap menekankan agar melihat persoalan masyarakat adat yang dihadapi kini dilihat dari “masing-masing gelas yang terisi”. Yance menggunakan penggambaran ini, agar kita melihat kondisi masyarakat adat secara komprehensif.
Menurut Yance putusan MK 35, sebenarnya memaksa pemerintah agar menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya 248 produk hukum daerah, ditetapkannya 131 Surat Keputusan wilayah Hutan Adat dengan luasan 244.195 hektare dan pengakuan tanah ulayat lewat Permen ATR/BPN Nomor 14 tahun 2024.
Kini dalam 10 tahun masa pemerintahan Jokowi, pengakuan masyarakat adat masih belum dinaungi undang-undang. “Di kita (Indonesia) selama 11 tahun putusan MK itu tidak ada momentum untuk mengakui masyarakat adat menjadi undang-undang”, tambah Yance.