Tidak ada nisan dalam hamparan semak belukar antara desa dengan hutan di Tenganan Pegrisingan (yang selanjutnya disebut Tenganan). Padahal Masyarakat menyakini itu sebagai kuburan bagi leluhurnya. Selain itu dalam ritus kematian orang Tenganan, mereka biasa menguburkan jasad dengan keadaan telanjang, “sebagai simbol kita lahir tidak membawa apa-apa, dan meninggalpun tidak bawa apa-apa”, kata Adi Suwarmata selaku tampling takon (kepala adat Desa Tenganan Pegrisingan).
Dari sini, kita langsung mendapati keunikan budaya Bali yang berbeda daripada umumnya. Desa Adat Tenganan Pegringsingan dalam sejarahnya memang sudah eksis sebelum ekspansi Majapahit (Hindu Jawa) ke Bali dan menjadikan mereka sebagai masyarakat bertradisi Bali Aga (Khawismaya, 2024: 72).


Bule, kebisingan, hiruk pikuk merupakan pemandangan yang lazim kita lihat di banyak tempat wisata Bali. Namun, anomali dihadapi ketika masuk ke Desa Tenganan. Kerbau liar, bentangan bukit berhutan lebat, hingga 11 anak yang sedang teruna nyoman (tradisi yang mesti dilakukan anak-anak dalam proses pendewasaan) merupakan pemandangan sehari-hari. Seolah, desa ini menampilkan gambaran lain dari Bali yang mempertontonkan harmoni antara kehidupan manusia dengan alam.
Secara geografis Desa Tenganan berada di sebelah timur Pulau Bali, masuk wilayah adminstrasi Kabupaten Karangasem. Desa ini berada 2 kilometer dari tepi laut dengan ketinggian berkisar 70-400 meter di atas permukaan laut. Selain dekat laut, Desa Tenganan diapit dua bukit di sebelah timur dan barat, posisinya pun berada di lembah yang membujur dari utara ke selatan (Maria & Rupa, 2007: 9).
Konon, Desa Tenganan terbentuk dari bangkai kuda bernama Oncesrawa. Selanjutnya, Wong Peneges (cikal bakal orang Tenganan) memotong-motong bangkai kuda itu dan membawanya sejauh mungkin. Orang Tenganan percaya, jika bau bangkai dari Oncesrawa menandai luasan wilayah desa yang sekarang luasan itu menjadi Desa Tenganan. Saat ini tercatat luas wilayah Desa Tenganan mencapai 917,2 hektare.
Notabene pekerjaan masyarakat Tenganan itu masih bergantung pada alam. Luasan lahan pertanian mencapai 255,840 hektare dan hutan seluas 591 hektare. Hasil kebun dari Desa Tenganan antara lain kelapa, kopi, coklat, cengkeh, panili, durian, keluak, kemiri dan terep. “Khusus durian, keluak, kemiri, dan terep harus menunggu buah itu jatuh dengan sendirinya baru bisa diambil”, kata Adi Suwarmata. Bila ada yang ketahuan mengambil langsung di pohonnya akan dikenakan hukuman adat berupa denda 25 kg beras.


Menggenggam Erat Awig-Awig
Hal yang membuat harmonisnya hubungan manusia Tenganan dengan alamnya adalah hukum adat yang masih digenggam. Salah satu bentuknya yaitu masih berlakukanya awig-awig (aturan) di Desa Tenganan di era modern saat ini. Awig-awig merupakan hukum adat Masyarakat Tenganan yang terdiri dari 61 pasal. Awig-awig ini berisi banyak hal antara lain soal hubungan manusia dengan dewa (parahyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungan (palemahan).
Sebagian besar, awig-awig berisi soal aturan untuk menjaga kelestarian alam dan kehidupan yang ada di dalamnya. Aturan lain yang merupakan turunan dari awig-awig seperti pelarangan menebang pohon, mementik buah tertentu, menjual tanah, mengelola sawah komunal, hingga pernikahan itu menjadi katalis untuk menjaga keharmonisan masyarakat Tenganan.
Awig-awig sendiri sebenarnya sempat hangus karena kebakaran hebat. kisahnya termuat dalam pasal 24 dan 25 yang menceritakan Desa Tenganan terbakar pada 1841. Kebakaran ini turut menghanguskan Pura Puseh, Bale Agung, dan surat riwayat desa (Awig-Awig Desa Adat Tnganan Pagringsingan, hal. 7). Akhirnya, awig-awig Tenganan pun ditulis ulang oleh I Gde Gurit dari Klungkung pada tahun 1842, dan baru diberlakukan kembali pada tahun 1925 sampai sekarang.


Bertahan Dalam Gempuran Perubahan
Awig-awig yang digengam erat masyarakat Tenganan seolah menjadi kompas dalam mengahadapi perubahan zaman. Bali yang umumnya sudah dibajiri oleh wisatawan dan mulai terkikis keasliannya, membuat Desa Tenganan jadi contoh kongkret keberhasilan desa yang ajek memegang kulturnya. Hal ini terbukti ketika pandemi 2020 terjadi dan membuat hampir seluruh Bali seperti mati karena wisatawan tidak ada. Menurut Adi Suwarmata, Desa Tenganan malah bisa bertahan dari guncangan ekonomi dan tidak ada kasus kematian akibat Covid-19. “Banyak anak muda Tenganan yang kembali ke desa ketika pariwisata di Bali sedang terpuruk,” tambah Adi Suwarmata.
Hal ini dikarenakan masyarakat Desa Tenganan yang mampu berdikari memenuhi kebutuhan hariannya. Beras yang menjadi makanan pokok tersedia melimpah, bahkan masyarakat memandang beras lebih bernilai ketimbang uang. dari total luasan lahan sawah, 40% itu milik dan dikelola oleh desa. Menjadikan kebutuhan beras per rumah tangga bisa dipenuhi oleh desa. Uang pun tidak terlalu berlaku bagi masyarakat Tenganan karena sistem barter masih berlaku untuk pemenuhan kehidupan sehari. Hal ini dikarenakan masih dipegangnya prinsip “malu menjual ke tetangga karena mereka masih keluarga”, ujar Adi Suwarmata.
Wisata pun dianggap sebagai bonus oleh Desa Tenganan. Menurut Adi Suwarmata, dalam pengelolaan wisata di Tenganan tidak menggunakan sistem tiketing melainkan donasi. “Jadi besarannya tidak ditentukan oleh pihak pengelola wisata melainkan keikhlasan para pengunjung”, kata Adi Suwarmata. Hal ini juga berpengaruh pada kegiatan yang menjadi wahana hiburan bagi wisatawan di Desa Tenganan. Pihak desa tidak berupaya membuat acara tertentu karena permintaan wisatawan, melainkan wisatawan dituntut untuk mengkuti jadwal kegiatan desa dalam melakukan kegiatan adat. Contohnya dalam kegiatan adat “Perang Pandan” yang hanya diadakan satu tahun sekali, dan wisatawan hanya bisa menikmati langsung ketika kegiatan itu di mulai bulan Juni-Juli saja.
Struktur Adat Tenganan pun masih menjaga keaslian desanya dengan melarang praktik jual beli tanah dan pembangunan hotel atau villa. Desa Tenganan bahkan menolak investor yang ingin mengembangkan wisata. Salah satu cara agar desa tidak kehilangan tanahnya dengan menghimbau kepada bank-bank di bali untuk menolak ketika ada yang mengagunkan tanah yang beralamat di Desa Tengangan. Cara ini pun terbilang efektif, karena pihak bank pun mau menuruti awig-awig Desa Tenganan itu.
Kini, Pendapatan Asli Desa Tenganan dari sektor pertanian, perkebunan, dan wisata mencapai 60 juta per bulan. “Ini sudah cukup bagi kesejahteraan desa kami”, tandas Adi Suwarmata.



Daftar Pustaka:
Awig-Awig Desa Adat Tnganan Pagringsingan: Bahan Acuan Pengembangan/Penyempurnaan Awig Desa.
Maria, Siti & I Wayan Rupa, Seri: Monografi Komunitas Adat, Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangan Asem Provinsi Bali, Departemen Kebuadayaan dan Pariwisata Direktorat Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Jakarta, 2007.
Khawismaya, Herlina Putri, dkk, “Merawat Tradisi Di Tengah Modernisasi: Desa Tenganan Pegringsingan-Bali”, Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah UHO, Volume 9, No. 2, April 2024.
Fransiska Natalia, Potret Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Bali, https://www.aman.or.id/story/potret-desa-adat-tenganan-pegringsingan-di-bali, diakses pada 3 Oktober 2025 pukul 13.33 WIB.