Selasa (30/1), Diadakan peluncuran policy paper dengan judul “Masyarakat Adat Pesisir dan Perubahan Iklim: Perspektif Hak Asasi Manusia” di Veranda Hotel, Jakarta. Peluncuran policy paper ini merupakan kerja sama beberapa pihak antara lain Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia (DJHAM), Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL) dan Raoul Wallenberg Institute (RWI).
Pada peluncuran ini juga turut diadakan diskusi dengan tema yang sama. Diskusi ini dimoderatori oleh Almonika Cindy Fatika Sari (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada) dengan diisi oleh Tely Dasaluti (Ketua tim Kerja Masyarakat Hukum Adat, Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan), Harniati (Direktur Kerja Sama HAM, Kementerian Hukum dan HAM), Saurlin P. Siagian (Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Komisi Nasional HAM), Yance Arizona (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), dan Bona Bending (Ketua Forum Masyarakat Adat Pesisir).
Dalam policy paper ini, Yance selaku tim penulis mengetengahkan definisi Masyarakat Adat (MA) yang selama ini banyak disalahartikan. Menurut Yance, hampir di setiap diskusi yang membahas MA selalu muncul pertanyaan definisi MA itu. “Hal ini memperlihatkan jika pandangan soal MA itu beragam dan memunculkan konsep yang salah,” kata Yance.
Sedangkan pada policy paper ini, definisi MA dipakai dalam UUD 1945 pasal 28 I ayat 3 yang menyebutkan masyarakat tradisional. “Masyarakat tradisional itu termasuk dalam definisi MA,” tambah Yance.
Akan tetapi, di beberapa peraturan turunannya pada tingkat peraturan menteri (Permen) definisi MA saling bertabrakan. “Pada Permen KLHK, KKP, ATR-BPN itu saja sudah beda-beda,” kata Yance. Menurut Yance, hal ini menyebabkan definisi MA yang dipakai pemerintah selama ini problematik karena memisahkan Masyarakat Hukum Adat dengan masyarakat tradisional.
Pemaparan soal MA di daerah pesisir dijelaskan oleh Tely Dasaluti. Selama ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan pendampingan terhadap MA pesisir. “KKP memiliki kewenangan dalam mendampingi masyarakat yang aktivitasnya banyak di laut,” kata Tely.
Selama ini, kehidupan MA di pesisir memang mengalami kesulitan ditambah perubahan iklim. Ancaman kerusakan lingkungan yang salah satunya menyebabkan daerah tangkapan nelayan hilang menjadi permasalah yang besar bagi MA pesisir. Hal ini membuat KKP membuat program pemberdayaan pada MA pesisir. “Mulai dari bantuan alat dan stimulan juga inventarisasi budaya,” tambah Tely.
Terbatasnya ranah kewenangan dan kerja KKP diamini oleh Tely. Menurut Tely hal ini didasari oleh beberapa faktor yaitu peraturan di wilayah laut diwenangi pada tingkat provinsi dan pusat juga pada tingkat bupati atau walikota tidak membuat peraturan soal MA.
Kerja Bersama dalam Mendampingi Masyarakat Adat Pesisir
Saling tumpang tindihnya kewenangan pada tingkat pemerintah di tengah-tengah ancaman krisis iklim membuat isu MA semakin mendesak. Tely pun memberikan rekomendasi supaya perlu adanya kerja sama pemerintah dan masyarakat dalam pendampingan MA pesisir.
Pada diskusi panel itu, masing-masing pengisi memaparkan peran yang mesti diambil oleh pemerintah, akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Harniati menegaskan jika advokasi MA pesisir sudah masuk program dari Penghormatan, Perlindungan, Pemenuhan, Penegakan dan Pemajuan Hak Asasi Manusia (P5HAM).
Harniati mengatakan saat ini sedang direncanakan suatu program turunan dari P5HAM yaitu Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM). Menurut Harniati saat ini masyarakat pesisir menjadi isu yang krusial karena adanya ancaman perubahan iklim dan lingkungan. “Dan rencananya isu ini bakal masuk ke RANHAM ke-6,” tandas Harniati.
Saurlin P. Siagian mengamini kondisi MA saat ini yang belum terlindungi. Menurutnya, pada sisi perlindungan HAM belum adanya payung hukum untuk MA.
Saurlin juga mengatakan jika masalah yang terjadi di MA akibat perubahan iklim menjadikannya tanda untuk segera diselesaikan RUU Masyarakat Adat. “Saat ini, Komnas HAM sedang menyusun pengaturan untuk perlindungan masyarakat adat,” tandas Saurlin.
Pada sisi akademisi, menurut Yance peran yang bisa diambil untuk mengawal isu MA adalah dengan membantu pada riset dan pembuatan naskah akademik. “Pasalnya, naskah akademik bisa membantu dalam pembentukan peraturan daerah,” ujar Yance.
Bona yang merepresentasikan MA pesisir lebih menekankan pada kerja sama antar pemerintah dengan LSM yang punya wewenang dan kemampuan dalam mengadvokasi isu ini. Menurut Bona, dalam tingkat masyarakat mereka sudah melakukan upaya perlindungan lingkungan lewat budaya yang menjadi laku sehari-hari.
“Tinggal, pemerintah melindungi masyarakat yang berkontribusi pada kelestarian lingkungan dan mengakui peran para ahli yang melakukan riset pada MA pesisir,” tandas Bona.