Senin (26/5), diskusi bertajuk “Diskusi Publik 12 Tahun Putusan MK.35 & Kegentingan Pengesahan UU Masyarakat Adat”, dilaksanakan di Sushi Matsu, Jl. Aditiyawarman No.43, Kebayoran Baru. Pada diskusi ini turut menghadirkan beberapa narasumber seperti Martin Manurung (Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI), Dr. Yance Arizona (Akademisi UGM Yogyakarta), Erasmus Cahyadi (Alisiansi Masyarakat Adat Nusantara), Siti Rakhma Mary (Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat), dan dimoderatori oleh Luluk Uliyah (Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat).
Martin Manurung membuka diskusi dengan menyampaikan pentingnya memperjuangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat agar segera disahkan. Menurutnya, saat ini sudah saatnya ada satu kodifikasi yang secara khusus mengatur masyarakat hukum adat dalam satu undang-undang.
“Saya menekankan perlunya pemetaan politik dan konsolidasi antara parlemen dan pihak-pihak di luar parlemen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, serta koalisi masyarakat adat agar perjuangan ini semakin kuat dan terarah”, ucap Martin. Dirinya juga menyoroti pentingnya membuat batasan minimum dan maksimum (bandul) terkait substansi RUU, agar pembahasannya lebih jelas dan tidak keluar dari rel perjuangan.
Lebih lanjut, Martin menjelaskan alur dan tahapan proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mulai dari pembahasan internal anggota, harmonisasi oleh Badan Legislasi, hingga pengesahan melalui paripurna dan surat presiden. Ia mendorong partisipasi aktif dari masyarakat sipil untuk menyampaikan aspirasi, termasuk melalui surat atau pertemuan dengan fraksi-fraksi dan pimpinan DPR.
Martin menegaskan bahwa masyarakat hukum adat adalah bagian sah dari republik ini, bahkan telah eksis sebelum negara berdiri. “Oleh karena itu, mereka layak mendapatkan pengakuan, perlindungan, serta fasilitasi agar bisa mempertahankan budaya dan hak-haknya tanpa diskriminasi”, tandas Martin.
Yance Arizona menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat telah melewati proses panjang sejak 2011 dan kini memasuki periode keempat di DPR. Yance mengatakan RUU ini sempat disetujui sebagai usul inisiatif DPR pada periode 2014–2019, pembahasannya terhambat karena pemerintah tidak mengirimkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), sehingga dialog bersama eksekutif pun gagal dilaksanakan.
Menurut Yance, perjuangan RUU ini tidak cukup hanya bertumpu pada DPR karena dukungan politik terhadap masyarakat adat masih rendah. “Oleh karena itu, strategi perjuangan harus mencakup tekanan publik yang masif dan juga membuka jalur alternatif melalui eksekutif, terutama Kementerian Hukum dan HAM, yang memiliki landasan konstitusional kuat dalam melindungi kelompok rentan seperti masyarakat adat”, kata Yance. Ia menekankan bahwa pendekatan yang digunakan selama ini, yaitu pengakuan administratif melalui Perda atau SK, justru menjadi jebakan birokratis yang menyulitkan dan mahal secara biaya.
Selain itu, Yance juga menyarankan agar paradigma pengakuan digeser ke pendekatan perlindungan berbasis hak asasi manusia (HAM), karena masyarakat adat merupakan kelompok rentan yang wajib dilindungi negara. Ia mengkritik konsep draf RUU saat ini yang mirip dengan pendekatan pembentukan korporasi, dan mengusulkan model registrasi mandiri layaknya pembuatan KTP, di mana masyarakat adat bisa mencatatkan identitas kolektif mereka tanpa harus melalui proses politik yang rumit. “Pemerintah daerah cukup membangun database masyarakat adat, sementara urusan tanah dan sumber daya lainnya ditangani oleh lembaga sektoral terkait”, tambah Yance.
Menurutnya, perlu ada penyusunan draf baru menggunakan metode omnibus law agar regulasi ini selaras dengan belasan undang-undang sektoral yang ada. “Dengan demikian, RUU Masyarakat Adat bukan hanya menjadi simbol legalitas, tapi benar-benar menjadi alat perlindungan hak dan eksistensi masyarakat adat secara konkret dan berkelanjutan”, tegas Yance.
Erasmus Cahyadi menyampaikan bahwa RUU Masyarakat Adat telah mengalami perjalanan panjang sejak wacananya muncul pada tahun 1990-an. Inisiatif untuk mendorong undang-undang ini muncul dari diskusi di kalangan Non-Governmental Organization dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, yang kemudian menjadi agenda prioritas hasil Kongres Masyarakat Adat di Pontianak pada tahun 2006.
Sejak itu, penyusunan naskah akademik dan rancangan undang-undang dilakukan secara bertahap, dimulai dari studi dokumen hingga konsultasi publik di lebih dari 60 wilayah. Meski demikian, proses politik di DPR sempat mandek hingga akhirnya dilakukan judicial review terhadap UU Kehutanan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomo 35 tahun 2012 menjadi titik penting, karena mengakui hutan adat bukan bagian dari hutan negara, namun tetap menyaratkan pengukuhan masyarakat adat melalui peraturan daerah (perda). “MK menyatakan bahwa perda masih diperlukan karena belum ada undang-undang yang mengatur skenario lain”, kata Erasmus.
Namun, setelah putusan MK tersebut, implementasi di lapangan tidak banyak berubah. Banyak perda tentang masyarakat adat yang dibuat tanpa komitmen nyata dari pemerintah daerah. Ini tercermin dari minimnya alokasi anggaran dan terbatasnya pelaksanaan agenda pengakuan. “Pemerintah daerah pun sering melibatkan instansi vertikal seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau Badan Pertanahan Nasional dalam proses identifikasi, padahal itu seharusnya menjadi kewenangan penuh daerah”, tambah Erasmus.
Dalam beberapa kasus, wilayah adat yang berada di kawasan konservasi menjadi tantangan tersendiri karena ketidaksinkronan antar direktorat di Kementerian Kehutanan. Meski telah dibentuk Satgas Hutan Adat sebagai respons percepatan pengakuan, tantangan utama justru datang dari internal kementerian itu sendiri. “Oleh karena itu, dukungan besar dari masyarakat sipil sangat penting agar proses ini benar-benar berdampak pada perlindungan nyata bagi masyarakat adat”, tandas Erasmus.
Sudah lebih dari 12 tahun sejak Putusan MK Nomor 35 lahir, namun harapan masyarakat adat untuk diakui dan sejahtera masih jauh dari kenyataan. Siti Rakhma Mary bersama dua rekannya dulu terlibat langsung dalam proses anotasi putusan ini dengan penuh semangat, berharap hutan adat diakui dan konflik agraria terselesaikan.
Menurut Rakhma realitanya justru sebaliknya. Konflik agraria semakin meningkat, dengan lebih dari 900 masyarakat adat dikriminalisasi dalam 10 tahun terakhir, dan ribuan hutan adat belum dikembalikan ke pemilik aslinya. “Kasus seperti di Sorbatua menunjukkan bahwa masyarakat adat tetap dianggap ilegal di tanahnya sendiri, karena tidak adanya pengakuan resmi seperti Perda atau SK”, kata Rakhma.
Rahkma mengatakan ini membuka celah kriminalisasi dan intimidasi dari aparat hingga militer, memperburuk kondisi masyarakat adat. Upaya advokasi melalui RUU Masyarakat Adat terus dilakukan sejak 2016 oleh Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, namun belum membuahkan hasil konkret. “Salah satu tantangan terbesar adalah kekhawatiran DPR terhadap dampak pengakuan wilayah adat terhadap investasi yang sudah ada dan koalisi mendesak agar pengakuan dijadikan poin utama, karena tanpa pengakuan tidak akan ada perlindungan”, tambah Rakhma.
Rakhma menjelaskan jika draf RUU versi koalisi sudah mencakup berbagai hak, termasuk hak atas wilayah adat, hukum adat, peradilan adat, hingga hak perempuan adat. Selain itu, restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi atas pelanggaran masa lalu juga menjadi bagian penting.
Rakhma juga menekankan bahwa hak-hak masyarakat adat tidak boleh dikompromikan demi investasi, dan harus didahulukan sebagai bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia. “Investasi bisa dibicarakan kemudian, selama dilakukan dengan prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan secara jelas”, tandas Rakhma.
Penulis: Laura Salma Afrianti