[Jakarta, 12 Maret 2016] Prinsip reforma agraria harus masuk dalam RUU Pertanahan. Salah satunya adalah menjamin penguasaan dan pengelolaan atas tanah oleh masyarakat melalui Reforma Agraria. Demikian disampaikan oleh Muhammad Yusuf dari KpSHK pada Diskusi Bulanan Epistema Institute, 10 Maret 2016. Tema diskusi kali ini adalah “Krisis Rakyat Pedesaan dan Keharusan Reforma Agraria”.
Yusuf memaparkan bahwa ada tiga instrumen dalam mengkaji pemiskinan kelompok petani di Indonesia, yaitu buruh tani, gizi buruk, dan penguasaan lahan. Pengurangan jumlah rumah tangga petani gurem di Jawa di tahun 2003—2013 sebanyak 4 juta. Ini berbanding lurus dengan penurunan penggunaan lahan pada rumah tangga pertanian di Jawa dari 17.624.598 hektar di tahun 2003 ke 13.323.005 hektar di tahun 2013. Sementara tingkat kerentanan gizi buruk justru terjadi di wilayah dengan pertanian padi dan palawija daripada wilayah perkebunan. Tercatat dari 109.573 kasus jumlah penderita gizi buruk, 44.538 di antaranya terjadi di wilayah pertanian padi, dan diikuti oleh wilayah pertanian palawija sebanyak 25.324, sedangkan jumlah gizi buruk di wilayah perkebunan sebanyak 14.730. Ini menunjukkan bahwa proporsi Kepala Keluarga Buruh Tani dalam keluarga pertanian berbanding lurus dengan kualitas hidup anak di pedesaan. “Tanah” juga menjadi basis kesejahteraan rakyat pedesaan.
Ironisnya, hal itu terjadi saat trend model pertanian ekspansif diterapkan di Indonesia. Data World Bank memperlihatkan terjadi peningkatan lahan pertanian selama periode 2000—2013 dari 26,04% menjadi 31,46%. Peningkatan lahan pertanian tersebut berbanding lurus dengan penurunan area hutan pada periode 2000-2013 dari 54,87% menjadi 50,99%. Konsekuensinya, terjadi peningkatan pengunaan pupuk sepanjang tahun 2002-2013 dari 123,96 kilogram/ha menjadi 204,59 kilogram/ha.
Namun, peningkatan luasan areal pertanian ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah pekerja di sektor tersebut. Data World Bank terbaru menunjukan bahwa terjadi penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian pada periode 2000-2014 sebanyak 45,3 % pekerja di tahun 2000 ke 34,3% pekerja di tahun 2014. Namun data tersebut berbanding terbalik dengan kesimpulan World Bank dalamThe World Development Report (WDR) 2008: Agriculture for Development. Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa angka kemiskinan di pedesaan Indonesia mengalami penurunan ditandai dengan kontribusi sektor pertanian sebanyak 25% terhadap GDP. Ini terjadi karena model pertanian komersil, diversifikasi nafkah rumah tangga petani, pengerahan tenaga kerja upahan (sektor pertanian dan non-pertanian), dan migrasi keluar desa. Pada laporan World Bank tahun 2010 “Rising Global Interest in Farmland: Can it Yield Sustainable and Equitable Benefits?” menunjukan bahwa akuisisi tanah secara luas menjadi cara pengurangan kemiskinan karena terciptanya tenaga kerja upahan, pertanian kontrak, dan pembayaran sewa/pembelian atas tanah.
Lantas bagaimanakah reforma agraria dilakukan dan mampu menjawab persoalan di atas tersebut? Belajar dari kasus Reforma Agraria di negara Amerika Selatan dengan mengutip ulasan Van Der Ploeg, Yusuf memberikan beberapa rekomendasi yang perlu dimasukkan dalam RUU Pertanahan. Pertama, jaminan dan perlindungan penguasaan tanah juga berlaku untuk penguasaan tanah secara kolektif dan komunal. Hal itu mengacu kasus-kasus reforma agraria di Amerika Selatan yang memotong arus rantai pasar dengan mendekatkan sektor produksi dan konsumsi yang dikelola dengan sistem bagi hasil antarpetani. Petani juga dapat memiliki peran untuk melakukan penjualan langsung ke pasar dengan mengetahui ekspektasi trend di pasar.
Namun, prinsip reforma agraria dengan pemilikan tanah secara kolektif sering kali dipahami dengan sederhana melalui praktik distribusi tanah secara merata. Padahal pengaturan tentang batas minimum dan maksimum penguasaan tanah secara berkeadilan masih belum ada dalam aturan pertanahan.
Rekomendasi kedua adalah penentuan batas minimum di tingkat rumah tangga yang perlu ditentukan dalam RUU Pertanahan. Prinsip reforma agraria dengan menjamin kepastian pendapatan di tingkat rumah tangga juga perlu diperhatikan untuk mempertahankan keberlanjutan pengelolaan lahan sejalan dengan kesejahteraan pendapatan keluarga. Ketiga, butuh penegasan fungsi sosial dan pengaturan secara jelas fungsi ekologis dari pemanfaatan tanah. Ini penting untuk memperkuat implementasi terkait aturan lainnya dalam UU No. 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil pada kelompok buruh tani. Jaminan ekologis juga berguna secara operasional, jika RUU Pertanahan mampu mengatur pemanfaatan tanah berdasarkan fungsi tata guna tanah tradisional. Pendampingan terhadap penyusunan RUU Pertanahan menjadi sebuah keharusan, namun setidaknya RUU Pertanahan mampu menjawab persoalan produksi utama yang dihadapi oleh petani di Indonesia, yakni “lahan”. (mtw)