Putusan MK-35 telah berhasil menggerakkan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah untuk mengakui masyarakat adat dalam produk hukum yang lebih konkrit.
Demikian disampaikan oleh Yance Arizona, Manager Hukum dan Masyarakat Epistema Institute pada 15 Mei 2015.
Yance menambahkan, program dan institusi yang supra-kementerian, seperti UKP4 dan NKB turut menjadikan Putusan MK 35 untuk menggerakkan Kementerian dan kelembagaan melakukan perubahan. “Meskipun perubahan yang terjadi pada level regulasi yang terbatas, belum pada program yang lebih konkret,” tambah Yance.
Namun, ada beberapa hambatan dalam pengimplementasian MK-35 selama dua tahun terakhir ini. “Mental birokrasi yang tidak berubah dalam memandang kawasan hutan. Orang-orang di KLHK masih menganggap hutan harus steril dari masyarakat dan tak boleh ada di dalam kawasan hutan.”
Pemerintah, katanya, juga masih memandang masyarakat adat sebagai komunitas primitif dan statis. Padahal, kalau bicara konseptual, masyarakat adat bisa berbentuk nagari, kesatuan masyarakat hukum adat.
Hambatan yang lain adalah belum lahirnya regulasi yang bersifat operasional yang terintegrasi satu sama lain. Ditambah belum adalah kelembagaan pelaksana dan belum tersedianya data sosial kontemporer mengenai masyarakat adat di Indonesia. Ditambah lagi tata cara pengakuan masyarakat adat yang sangat bergantuing dari proses politik daripada administrasi.
Respon Pemerintah terhadap Putusan MK35
Pasca putusan MK-35 memunculkan beragam respon dari beberapa kementerian. Ada reaksi negatif dan juga reaksi positif. Reaksi negatif dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan (sekarang KLHK). Setelah beberapa bulan sejak putusan MK-35, kementerian KLHK mengeluarkan UU P3H. Semangat awal UU ini untuk menjerat korporasi, tetapi pada kenyataannya banyak mendiskriminasi dan mengkriminalisasi masyarakat adat dan orang kecil. Catatan Koalisi Anti Mafia Hutan menyebutkan bahwa sejak adanya UU P3H, tak ada satu pun korporasi yang dijerat, tetapi justru masyarakat sekitar kawasan hutan. 53 orang dihadapkan ke pengadilan, dengan 43 orang diputus bersalah dengan hukuman penjara, 43% nya adalah petani.
Kebijakan lain yang dikeluarkan adalah Permenhut 62 tahun 2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Dalam permenhut ini, hutan adat keluar dari kawasan kehutanan. Kemenhut melemparkan tanggung jawab kepada pemda untuk membuat pengakuan terhadap masyarakat dan hutan adat melalui perda. Padahal tanggung jawab kementerian ini memastikan hutan adat. Padahal, dalam UU Kehutanan telah dijelaskan adanya mandat membuat peraturan mengenai masyarakat adat. Namu PP Hutan Adat tak kunjung terbit.
Kementerian Dalam Negeri dalam merespon hasil Putusan MK-35 adalah dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 552/8900/SJ Tahun 2013 tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat. Secara konseptual, surat edaran ini keliru dalam memaknai masyarakat adat, karena dalam Surat edaran tersebut disebutkan yang masuk masyarakat adat adalah suku-suku, kelompok marga, keraton, kerajaan hingga kesultanan. Padahal kerajaan, keraton dan kesultanan bukan masyarakat adat. Yang lain adalah tentang tanah ulayat. Dalam Surat Edara ini dijelaskan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu, tanah ulayat dalam hal ini termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kasultanan (Sultan Ground).
Surat Edaran Kemendagri ini menimbulkan risiko besar. Banyak kerajaan di negeri ini yang sedang mengupayakan pemulihan hak mereka. Padahal sudah dihapuskan UU Pokok Agraria.
Respon Kemendagri yang adalah adalah Permendagri tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Mereka diidentifikasi oleh camat disampaikan kepada panitia masyarakat hukum adat terdiri dari Sekda, SKPD bagian hukum dan camat. Untuk ada verifikasi dan penetapan melalui perda. Ini respon positif bagi pengakuan masyarakat adat. Hingga kini, ada 10 provinsi dan 14 kabupaten kota sudah pemetaan sosial masyarakat hukum adat.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN merespon Putusan MK 35 dengan mengeluarkan peraturan bersama dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum nomor 79 tahun 2014. Perber iniberisi soal tata cara penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan yang dikeluarkan pada Oktober 2014. Dalam perber ini, Kabupaten Barito Selatan menjadi pilot project. Kemudian dibuat juklak dan juknis. Dalam Perber ini juga dibentuk tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah dengan tugas untuk menerima permohonan masyarakat yang tanah terlanjur ditetapkan sebagai hutan negara untuk diverifikasi. Saat ini, Kementerian Agraria dan Tata Ruang juga merancang Peraturan Menteri tentang Hak Komunal Atas Tanah.
Sementara itu, Komnas HAM dalam merespon Putusan MK 35 ini dengan mengadakan Inkuiri Masyarakat Adat dengan mengambil 40 profil kasus. Dalam Inkuiri, fakta-fakta mengenai sengketa agraria dan kehutanan melibatkan masyarakat adat disampaikan secara gamblang. Upaya ini juga untuk membuka fakta pelangaran HAM terhadap Masyarakat Adat.
Di sisi yang lain Wakil Presiden Boediono juga meluncurkan program nasional pengukuhan dan perlindungan hak masyarakat adat lewat REDD+.
Respon pemerintah daerah
Pasca putusan MK-35, ada banyak perda dibuat untuk mengakui masyarakat adat dan wilayah. Ini penting karena di tiap peraturan untuk pengakuam memerlukam perda. Bentuk produk hukum daerah tersebut antara lain Perda Pengakuan, Perda Penetapan, Peraturan Gubernur/Bupati dan SK Bupati.
Hingga saat ini, ada 108 produk hukum daerah yang mengakui keberadaan masyarakat adat dan wilayah termasuk hutan. Produk hukum tersebut terdiri dari 19 perda provinsi, 45 perda kabupaten, 6 Peraturan Gubernur dan 38 Keputusan Bupati.
Saat ini juga sedang ada proses inisiasi membuat produk hukum lokal soal masyarakat adat di 87 daerah. Mereka sedang bergerak membuat peraturan pengakuan terhadap masyarakat adat. [ ]