Kamis, 7 Desember 2023 diskusi bertajuk “Melihat Kebijakan Kehutanan dan Reforma Agraria Saat Ini” dilakukan pada 13.30-15.30 WIB via daring. Diskusi ini merupakan serangkaian acara yang digagas oleh Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) dan Perkumpulan HuMa dengan judul Angkringan Hutan Jawa.
Pada acara kali ini pembicara diisi oleh Thomas O. Veriasa, Sungging Septivianto, Laksmi A. Savitri, dan Yustisia Rahman dengan dimoderatori Raudhatul Jannah. Dengan mengetengahkan soal kebijakan di bidang kehutanan dan reforma agraria. Masing-masing pemateri memaparkan pendapatnya sehingga ada banyak perspektif soal tata kelola hutan dan Reforma Agraria.
Diskusi dimulai oleh pemaparan Thomas yang berpendapat soal tata kelola kehutanan di Jawa. Menurutnya selama ini hutan Jawa dalam tata kelolanya timpang dalam penguasaan konsesi. Perhutani menjadi salah satu pemegang kuasa konsesi hutan di Jawa.
Menurut Thomas program Perhutanan Sosial (PS) menjadi solusi dalam permasalahan ini. Thomas bersama peneliti lain menganalisis terhadap tujuh tempat PS (Pemalang, Jember, dan Sukabumi) yang tersebar di beberapa tempat di Jawa.
Dirinya menemukan kekurangan dan kelebihan dari adanya PS tersebut. “Di Beberapa tempat PS, kesenjangan pada aspek pendampingan dan pemanfaatan konsesi terjadi antara masyarakat dengan Perhutani,” ujar Thomas.
Dari hasil analisis di tujuh konsesi PS itu, Thomas menyimpulkan salah satu pemecahan masalah tata kelola hutan Jawa itu sikap inklusif pemerintah terhadap masyarakat yang mengelola hutan. “Saran soal PS yaitu meletakan inklusivitas dan sikap keberlanjutan pengelolaan hutan Jawa,” tandas Thomas.
Hal yang sama diceritakan juga oleh Sungging. Dirinya bercerita soal pengalaman pendampingan di Banyumas dan Cilacap pada 2004.
Di Desa Ketenger, Banyumas konflik pengelolaan hutan sempat muncul antara masyarakat dengan Perhutani. Namun, dengan mediasi yang berlangsung lama akhirnya masyarakat dapat diberikan izin pengelolaan konsesi PS pada tahun 2016.
Bukti sukses pengelolaan masyarakat pada konsesi PS ini adalah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Desa Ketenger sendiri. Usaha yang dikembangkan masyarakat Desa Ketenger di konsesi tersebut adalah pariwisata.
“Pada 2021, total pendapatan yang dihasilkan oleh LMDH Gempita ini sudah mencapai 1,2 miliyar dan mampu memberikan bagi hasil dengan perhutani sejumlah 452 juta,” tutur Sungging.
Menurut Sungging skema kemitraan dengan strategi bisnis bisa memperkuat posisi tawar masyarakat. Masyarakat bisa berkontribusi secara perekonomian bagi negara.
Akan tetapi, tidak semuanya program pengelolaan hutan itu menguntungkan masyarakat. Sungging menceritakan permasalahan Reforma Agraria (RA) di Desa Bantarsari, Kabupaten Cilacap. Masyarakat Desa Bantarsari terancam kehilangan lahan garapannya.
Pada 5 Oktober 2021 kelompok tani di desa ini mengirimi surat ke Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) XI Yogyakarta. Isinya soal permohonan penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan seluas 449,9 ha.
Setahun berselang, pada 22 November 2022 BPKH XI merespon surat ini dengan redistribusi lahan yang sudah ditinggali masyarakat. Namun, untuk lahan garapan malah dimasukan ke PS.
Para petani menolak lahan garapan di masukan ke PS. “Lahan garapan yang dimasukan PS nantinya membuat lahan garapan petani tidak bisa dipakai karena masuk dalam wilayah kehutanan,” kata Sungging. Saat ini penyelesaian masalahnya belum juga muncul.
Laksmi pada pemaparannya lebih mengetengahkan soal masalah reforma agraria di kawasan hutan. Menurutnya negara punya kekuasaan terhadap tanah dan punya kewajiban dalam mendistribusikan hak pemilikan dan pengelolaan tanah.
Laksmi mengatakan “redistribusi tanah harus juga membagi soal kekuasaan dan kekayaan”. Hal ini tersebut dimaksudkan agar tanah tidak dikuasai secara penuh oleh golongan tertentu. Selain itu, Laksmi menambahkan jika sifat pembagian tanah pun harus bebas dari represi dan penggusuran.
Dalam Peraturan presiden Nomor 62 Tahun 2023 sudah mengupayakan agar RA bisa berjalan. Ada beberapa kebijakan yang termuat di peraturan itu yang mengamanatkan RA antara lain Tanah Objek Reforma Agraria, Hutan Produksi yang dikonversi, program pemerintah untuk pencadangan tanah (Bank Tanah).
Akan tetapi, penyelesaian penguasaan tanah di kawasan hutan masih bermasalah karena tumpang tindih klaim penguasaan tanah. Program seperti Bank Tanah yang mencabut izin lahan terbengkalai dan diakui milik pemerintah pun dinilai Laksmi bakal menimbulkan masalah baru.
“Bank Tanah masih jadi pertanyaan karena tanah-tanah yang diambil alih ini bakal diretribusikan kembali atau tidak,” tambah Laksmi.
Menurut Laksmi upaya yang dilakukan pemerintah dalam memperjuangkan RA masih terkesan birokratis. Sehingga permasalahan tanah lamban untuk dicari jalan keluarnya. Laksmi menyebutnya sebagai proses teknikalisasi.
“Proses pengembalian tanah yang sedang dikebut harus melewati cara birokrasi jadi RA hanya dilihat sebatas formalitas saja,” tandas Laksmi.
Yustisia menambahkan soal ecoregion dan hukum adat sebagai salah satu jalan alternatif dalam memperjuangkan RA. Menurut Yustisia selama ini upaya advokasi RA hanya lewat hukum agraria.
Yustisia menekankan pendekatan pengetahuan tradisonal dalam mendorong kebijakan pemerintah. “Akhirnya hal tersebut bisa bermanfaat buat masyarakat dan lingkungan,” ujar Yustisia.
Salah satu instrumen hukum yang bisa dipakai dalam memperjuangkan RA menurut Yustisia bisa lewat UU PPLH No. 32 tahun 2009. Undang-undang itu berisi soal asas ecoregion yang berarti mengutamakan kebijakan ini mengutamakan kelestarian lingkungan.
Menurut Yustisia momentum tahun politik 2024 bisa jadi waktu yang tepat untuk menekan kebijakan ecoregion ini. “Gagasannya disebarkan lewat Bappenas, Bappeda, Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tandas Yustisia.