Kamis (11/7), kembali berlangsung diskusi Epistema Berkembur seri ketiga dengan tajuk “Tarung Sima: Menelaah Upaya Memusnahkan Harimau Jawa dalam Budaya”. Diskusi kali ini diisi oleh Dihan Amiluhur dari Institute for Research and Empowerment dan Kus Sri Antoro dari Forum Komunikasi Masyarakat Agraris Wilayah Yogyakarta.
Dihan Amiluhur yang menuliskan buku berjudul Kolonialisme Gladiator Jawa: Sima Maesa dan Rampog Macan di Jawa Abad ke-19, memulai diskusi ini dengan penjelasan tentang tradisi Sima Maesa dan Rampog Macan.
Sima Maesa sendiri merupakan pertarungan antara sima (harimau) dengan maesa (kerbau) dalam sebuah tembok kayu yang tinggi. Kedua binatang itu dibuat agresif dengan dengan memberikan daun kemadu yang menyebabkan efek panas, dilempar api atau disiram dengan air panas. “Secara natural, kedua binatang ini tidak mungkin bisa bertarung dengan sendirinya,” kata Dihan.
Sedangkan Rampog Macan merupakan acara dalam menyambut hari-hari besar islam di alun-alun kraton. Harimau atau jenis kucing besar lainnya dikelilingi manusia sembari menghunuskan tombak dan benda tajam lainnya. “Rampog Macan merupakan acara besar yang didatangi banyak orang untuk ramai-ramai membunuh harimau,” tambah Dihan.
Pada awalnya, Sima Maesa dan Rampog Macan merupakan satu rangkaian acara. Harimau yang bisa bertahan saat bertarung dengan kerbau bakal ditombak ramai-ramai di Rampog Macan. Namun, pada perkembangannya kraton lebih sering langsung mengadakan Rampog Macan ketimbang Sima Maesa. “Sima Maesa merupakan acara eksklusif untuk orang tertentu saja, sedang Rampog Macan acara yang bisa ditonton masyarakat luas.” kata Dihan.
Dihan juga menyinggung soal simbolisasi antara harimau dengan kerbau. Orang Jawa menganggap harimau sebagai perlambangan dari sifat liar, susah diatur, dan pembawa masalah. Maka di Rampog Macan, harimau pada akhirnya akan mati di tangan orang jawa. “Harimau disematkan kepada orang-orang londo (belanda),” tambah Dihan.
Kapitalisme Datang, Harimau Menghilang
Kus Sri Antoro, melihat jika budaya Sima Maesa dan Rampog Macan menandai adanya campur tangan kolonialisme dalam ekosistem Jawa. Kolonialisme hadir bersamaan dengan adanya kepentingan kapitalisme di Jawa. “Adat atau tradisi yang dianggap luhur itu tidak selalu bermakna baik ketika dia berkelindan dengan kepentingan pasar,” kata Kus.
Menurut Kus, pada saat itu sudah ada rute penetrasi modal dan eksploitasi sumber daya alam dalam langgam kolonialisme di jalur kebudayaan. Sima Maesa dan Rampog Macan hidup dalam suasana Jawa yang bersinggungan dengan kolonialisme.
Harimau yang dibunuh pada acara tersebut, merupakan daya tarik yang diminati semua kalangan termasuk penjajah. Para penjajah datang ke Jawa untuk menikmati keeksotisan wilayah timur lewat hiburan gladiator a la Jawa.
Selain itu, Sima Maesa dan Rampog macan sendiri sarat akan makna pertarungan orang Jawa dengan penjajah. Simbolisasi inilah yang malah langgeng hingga pembunuhan harimau marak terjadi. “Kondisi ini menjadi bukti jika feodalisme dan kolonialisme khususnya Mataram Islam punya keselarasan, keserasian dan sinergi,” tambah Kus.
Selain itu, kehadiran kolonialisme pun turut membawa kapitalisme dalam wujud perkebunan-perkebunan yang mengganggu ekosistem harimau. Menurut Kus, Kapitalisme itu menuntut adanya hutan-hutan homogen seperti dalam konsep perkebunan. Hutan heterogen yang dirusak bakal berdampak pada hilangnya keberadaan harimau. “Kapitalisme mengubah hutan-hutan heterogen menjadi hutan homogen,” kata Kus.
Unduh materi-materi pada diskusi ini pada link berikut: Materi Epistema Berkembur 3: Tarung Sima