Melindungi Pengetahuan Lokal Lewat RUU Masyarakat Adat

Diskusi bertajuk “Merawat Warisan Leluhur: Saatnya Negara Mengakui Kekayaan Intelektual Masyarakat Adat”, telah dilaksanakan via Zoom Meeting pada 23 April 2025. Diskusi ini terkait pengetahuan masyarakat adat dalam bentuk teknologi tradisional yang bernilai, tetapi belum terlindungi karena sistem Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) yang masih bersifat individual dan kapitalis. Menjadikan pengetahuan masyarakat adat yang jadi warisan budaya rentan dieksploitasi.

Dalam diskusi ini turut menghadirkan beberapa narasumber seperti Arimbi Heroepoetri (Debtwatch Indonesia), Agustinus Kastanya (Universitas Pattimura), Mika Ganobal (Masyarakat Adat Kepulauan Aru) dan di moderator oleh Herlina Agustin (Universitas Padjajaran).

Mika Ganobal membuka diskusi dengan membahas kehidupan masyarakat adat di Kepulauan Aru, Maluku, yang terdiri dari 117 kampung. Ia menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi dalam perlindungan kekayaan intelektual masyarakat adat, seperti: globalisasi dan purubahan budaya, kurangnya dokumentasi, pengakuan hukum yang terbatas, biopiracy dan appropriation, serta rendahnya kesadaran dan pemahaman akan pentingnya pelestarian budaya.

Mika juga membagikan beberapa praktik cerdas masyarakat adat Aru. “Ada soal sasi yang dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil hasil Sumber Daya Alam tertentu, Pengetahuan mengolah tanaman sekitar seperti pohon mangrove yang dikonsumsi buahnya, kayu ular yang dipakai untuk menyembuhkan beberapa penyakit (menurunkan kadar gula, kekebalan tubuh, demam, malaria), dan juga kalender musim seperti tamblo atau kapana“, tutur Mika.

Arimbi Heroepoetri menjelaskan bahwa masyarakat adat itu memiliki tiga unsur utama: asal-usul (ancestral domain), aturan adat yang mengikat, dan wilayah adat. Dari ketiga unsur inilah yang menghasilkan pengetahuan masyarakat adat. Pengetahuan ini yang menurut Arimbi perlu untuk dilindungi.

Salah satunya Arimbi mengutip Peraturan Pemerintah No.56 tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal. “Pada pasal 3 yaitu Hak Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dipegang oleh negara. Negara wajib mengiventarisir, menjaga, dan memelihari KIK dan pada pasal 4 soal ekspresi budaya tradisional, pengetahuan tradisional sumber daya genetik, indikasi asal, dan potensi indikasi geografis”, tegas Arimbi.

Arimbi juga mengetengahkan sola peran penting teknologi dalam pelestarian budaya. “Karena teknologi adalah alat untuk menerapkan pengetahuan, menciptakan solusi, serta menyediakan kebutuhan masyarakat”, imbuhnya .

Saat kesempatan Agustinus Kastanya, dirinya menegaskan bahwa masyarakat adat telah ada sebelum Republik Indonesia berdiri dengan sistem hukum dan nilai-nilai sendiri. Menurut Agustinus UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) menjamin eksistensi dan hak masyarakat adat. “Namun, pengakuan ini belum dibarengi dengan perlindungan hukum yang substantif karenanya negara wajib hadir untuk memastikan keadilan dan menjaga keberlanjutan budaya masyarakat adat”, tambah Agustinus.

Bagi Agustinus, saat ini masih terjadi hambatan melakukan perlindungan hukum itu. Hal ini dapat dilihat dalam upaya pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA). “Masih terjadi konflik kepentingan antara investasi dan hak masyarakat adat, kurangnya kesepakatan antar fraksi di DPR, RUU MHA belum menjadi prioritas nasional, dan tekanan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk mendorong pengesahannya”, tandasnya.

Penulis: Laura Salma Afriyanti