Oleh: Bagas N Pangestu
Kamis(19/9), bakal ada pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024. UU ini berisi perubahan atas UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Wacana perubahan UU Nomor 5 ini memang sudah disiapkan pada 2016 lalu. Selang delapan tahun, akhirnya RUU perubahan Nomor 5 ini disahkan menjadi undang-undang pada 9 Juli 2024. Menurut Gerardus Budisatrio Djiwandono, Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengatakan UU Nomor 5 ini sudah dipakai selama 30 tahun dan perlu ada penyesuaian.
Selain itu, Gerardus juga menyebutkan pengesahan UU perubahan konservasi ini untuk memberi kejelasan kewenangan pemerintah, peran masyarakat termasuk Masyarakat Adat, termasuk penyelenggaraan dan pendanaan konservasi. Namun, apakah benar UU Nomor 32 Tahun 2024 ini bisa menjawab segala perubahan pada upaya konservasi sumber daya alam dan ekosistem termasuk penyelesaian masalah dengan wilayah Masyarakat Adat?
Dalam banyak diskusi yang mengundang ahli, kebanyakan mengatakan perubahan UU Nomor 5 ini belum banyak mengakomodir bidang lainnya. Menurut Agustinus Kastanya (Dosen Universitas Pattimura) dalam diskusi “Undang-Undang KSDHAE: Sebuah Jebakan Kebijakan Konservasi?” mengatakan jika UU Nomor 32 Tahun 2024 ini belum bisa menyelesaikan konflik tenurial yang menjadi ancaman pada masyarakat adat.
Menurut Agustinus, UU Nomor 32 ini belum ada perubahan mendasar soal mengakomodir hak-hak adat dan tenurial Masyarakat Adat. Agustinus pun mengambil contoh pada pulau-pulau kecil di wilayah Indonesia Timur. Contohnya pada masyarakat adat Pulau Buru yang tinggal di delapan wilayah. “Ketika pemerintah menetapkan fungsi-fungsi hutan dan pembagian wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan maka hampir semua wilayah itu adalah wilayah masyarakat adat”, kata Agustinus.
Selain itu, pendapat yang sama juga datang dari Andi Chairil Ichsan (Dosen Universitas Mataram). Masih di diskusi yang sama, Andi mengatakan UU Nomor 5 ini masih tetap dipakai dengan beberapa pembaruan di UU nomor 32. Andi pun menyinggung, soal peran masyarakat dalam Bab IX Pasal 37 dalam UU Nomor 32 ini.
Menurutnya memang ada perluasan peran masyarakat dalam aktivitas konservasi. Akan tetapi masyarakat dalam pengelolaannya masih ditempatkan sebagai objek bukan subjek. “Ini malah bisa jadi bumerang karena dalam konteks pendekatan konservasi masih menggunakan pendekatan protective area bukan berbicara soal conservation for people”, kata Andi.
Selain itu, UU Nomor 32 ini menurut Andi memang masukan peran Masyarakat Adat dalam pengelolaan konservasi. Namun yang mesti digarisbawahi adalah bagaimana mekanisme dan tindak lanjutnya menjadi catatan penting karena selama ini konflik masyarakat adat dan wilayah konservasi masih juga berlangsung.
Konflik antar Masyarakat Adat dengan wilayah Konservasi dalam sejarahnya sudah berlangsung lama. Contohnya pada kasus penangkapan Tua Teno Ngkiong Mikael Ane yang diakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah II Ruteng, TNI dan Polri pada 2022 silam. Konflik ini selalu melemahkan posisi Masyarakat Adat.
Munculnya UU perubahan Nomor 5 ini, juga dianggap sebagai salah satu upaya penyerobotan wilayah adat oleh pemerintah lewat cara-cara hijau (green grabbing). Alih-alih melindungi kelestarian ekosistem, justru malah mencerabut peran Masyarakat Adat sebagai aktor utama pelestari lingkungan. Contohnya yang terjadi pada Masyarakat Pulau Komodo yang mulai disingkirkan demi Proyek Strategis Nasional berlabel pariwisata.
Dari kondisi yang terjadi selama ini, seharusnya pemerintah dan DPR RI lebih fokus mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah diusulkan Panitia Khusus DPR pada 2014. Pada 2017 pun RUU Masyarakat Adat sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas. Namun, sampai penghujung berakhirnya pemerintahan Joko Widodo urung disahkan.
Pentingnya pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah untuk pengakuan dan memperkuat posisi Masyarakat Adat secara hukum. Saat posisi Masyarakat Adat diakui dan sudah kuat dan ketika dihadapkan dengan kebijakan seperti UU Nomor 32 soal Perubahan Konservasi ini maka mereka sudah punya kendali penuh dalam mengatur dan mengelola wilayah adatnya untuk konservasi.
#SahkanRUUMasyarakatAdat