Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) menyelenggarakan diskusi dengan tema Mempertegas Komitmen Capres/Cawapres 2024 Terkait Agenda Politik Reforma Agraria & Perhutanan Sosial Sebagai Strategi Pengentasan Kemiskinan dan Pembangunan Berkelanjutan pada Kamis (25/1).
Diskusi ini dipandu oleh Muayat Ali Muhshi dan dipantik oleh Dradjad Hari Wibowo. Selain itu terdapat juga panelis yaitu Swary Utami Dewi dan Teguh Yuwono.
Dradjad yang merupakan juru bicara pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden nomor urut 2 yaitu Prabowo-Gibran. Pada diskusi ini Dradjad menjelaskan program terkait lingkungan khususnya Perhutanan Sosial (PS) yang bakal dilanjutkan dari program pemerintah sebelumnya.
Terkait upaya Reforma Agraria (RA), Dradjad mengatakan dalam rancangan program kerja pasangan calon nomor urut 2 bakal melanjutkan program yang sudah berjalan sebelumnya. Hal ini juga termasuk dengan kebijakan terkait PS yang sudah berjalan di masa pemerintahan Joko Widodo yaitu targetnya 12,7 juta hektare.
“Untuk RA melanjutkan dan menyempurnakan pada pemerintahan Jokowi”, kata Dradjad.
Dradjad menambahkan untuk RA dan PS bakal dimasukkan ke investasi belanja negara. “Jadi Prabowo-Gibran bakal memperbesar investasi”, tambah Dradjad.
Pendampingan jadi salah satu kunci dalam menjalankan PS. Dan perlu adanya kerja sama lintas sektoral dalam kementerian untuk mengurusi pendampingan.
Target luasan RA masih mengacu pada 12,7 juta hektare. Tapi terbuka lagi untuk menambah luasannya.
Menurut Dradjad strategi agar mempercepat pengembangan PS dengan anggaran dan membenarkan birokrasi yang bertele-tele. “Maka perlu ada debirokratisasi dengan memangkas pengurusan administrasi di pemerintahan soal pengurusan PS”, tambah Dradjad.
Kesempatan pertama diberikan pada Swary untuk menjelaskan terkait PS. Swary memulai dengan menyatakan “siapapun presidennya PS jalan terus dan makin keren”. Menurut Swary PS merupakan suatu potensi pengembangan ekonomi dan sosial yang berbasis ekologi.
Kaitan dengan janji kampanye Swary menekanan dengan beberapa catatan soal PS. Swary berpendapat PS bisa dijadikan alat pengentasan kemiskinan, pemerataan keadilan, pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat.
Selain itu Swary menambahkan jika program PS dapat mewujudkan keseimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan tata kelola. Swary menganggap penting program PS ada di setiap program kerja dari paslon manapun. “Paradigma ini yang seharusnya masuk pada program siapapun presidennya”, tambah Swary.
12,7 juta hektare untuk PS sudah dikeluarkan pada masa pemerintahan Joko Widodo dan menurut Swary ini perlu dipertegas dengan komitmen seperti itu. “Tolong komitmen terhadap program PS agar dijaga karena ini untuk masyarakat miskin”, kata Swary.
Swary juga menambahkan perlu adanya komitmen pendampingan di kawasan PS setelah Surat Keputusan itu diterbitkan. “Di lapangan masyarakat tetap perlu pendampingan karena menghadapi beragam masalah”, tambah Swary.
Kekhawatiran Swary pada program PS juga menyasar dengan janji kampanye Prabowo-Gibran yang menyebutkan “hilirisasi” dan “foodestate”. Swary khawatir terhadap konsesi perkebunan, pertambangan dan monokultur secara besar ini bakal menabrak komitmen PS.
Teguh dalam kesempatan langsung menekankan pada komitmen memperjuangkan RA dan menjalankan program PS. “Jadi, bukan cuma komitmen kualitatif saja tapi juga komitmen kuantitatif dari paslon ini”, ujar Teguh.
Pasalnya, menurut Teguh saat ini terus terjadi ketimpangan penguasaan kawasan hutan. Pada data yang dihimpun teguh, sudah ada 30,5 juta hektare yang dimiliki korporasi sedangkan PS hanya 6,37 juta hektare. Hal ini jauh dari kata pemerataan penguasaan hutan untuk masyarakat.
Menurut Teguh yang hadir di masyarakat harusnya adalah intensif-intensif bukan hanya bantuan sosial saja. Teguh mengatakan perlu juga akses dan pendampingan dalam pengelolaan hutan pada masyarakat hingga bisa berdaya.
Teguh melihat selama pemerintahan Joko Widodo pengelolaan PS dinilai luar biasa. Di dalam UU Cipta Kerja memberi kesempatan masyarakat mengelola PS dengan 35 tahun dan legalisasi aset.
Namun, Teguh menyayangkan selama pemerintahan Joko Widodo soal redistribusi tanah di kawasan hutan belum sampai 10% hanya 4,1 juta hektar. “Harapnnya ini bisa diatasi kedepan”, ujar Teguh.
Teguh juga menyoroti soal pendampingan masyarakat soal pengelolaan PS. “Perihal akses memang sudah mencapai 6,3 juta hektare tetapi untuk pengelola PS yang mendapat kategori platinum hanya 0,53% dan berbanding dengan kategori silver dan blue yang berada di bawahnya punya reratanya 45%”, tambah Teguh.
Dalam program perencanaan PS berbasis desa, program pemerintah soal RA, PS dan pembangunan desa tidak singkron dalam penerapannya. “PR kita adalah RA dan PS bisa dikawal setelah dilegalisasi”, kata Teguh.
Teguh juga menambahkan soal konflik yang terjadi di kawasan hutan. Mulai dari konflik di masyarakat juga muncul oknum-oknum yang mencari untuk di hutan. “Kami tidak ingin dalam kasus di Jawa yang banyak terjadi di PS yaitu konflik horizontal antar masyarakat karena perebutan lahan”, tandas Teguh.