Diskusi bertema “Perempuan, Generasi Muda, Kelompok Marginal dan Rentan dalam Krisis Agraria-SDA Multidimensi” berlangsung senin (16/10) di Ruang Diskusi Panel 2. Diskusi ini merupakan serangkaian acara dari Konferensi Tenurial Indonesia 2023, di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta.
Diisi oleh beberapa narasumber yaitu Solihin (Sinjai, Sulawesi Selatan), Marice (Tobati, Jayapura), May Putri (Kader ARAS KPA), Marlinda Nau (Molo, NTT), Aas (Masyarakat Pulau Pari), Hasmia (KPPI), Minawati (JRMK) dan dimoderatori oleh Dinah (RMI).
Diskusi ini didasari oleh beberapa pertanyaan yang ditujukan kepada para narasumber berdasarkan kondisi yang terjadi di daerahnya.
Marlinda Nau membagikan perjuangannya dalam membangun komunitas perempuan yang membuat perempuan daerah Molo bisa memberikan aspirasi dan berjuang untuk mempertahankan tanah di Molo.
Menurut Marlinda masyarakat Molo percaya akan empat elemen yang ada dan ditanamkan dalam kehidupan mereka “tanah sebagai tubuh atau daging, batu sebagai tulang, air sebagai darah, dan hutan sebagai jantung paru-paru dan rambut,” tambah Marlinda.
Marlinda juga menceritakan akan kepercayaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat Molo bahwa tanah merupakan elemen penting untuk dijaga dengan memperkuat isu pangan kepada anak muda.
Ada empat Poin yang dilakukan oleh komunitas perempuan Molo untuk meningkatkan dan membentuk kesadaran generasi muda Molo. “Memberikan ruang bicara bagi anak muda, mendorong generasi muda melalui medsos dengan membuat tulisan dari hasil diskusi, meningkatkan inovasi pangan kepada anak muda Molo, dan melakukan workshop bagi anak muda Molo,” tandas Marlinda.
Cerita dilanjutkan oleh Aas dari Pulau Pari. Aas dan komunitasnya telah memperjuangkan agraria bagi masyarakat pesisir, komunitas perempuan dan aktif dalam mengelola pantai Pulau Pari.
Komunitas ini bergerak mempertahankan pulaunya dan bergotong royong untuk mendapatkan keadilan ketika suami-suami mendapatkan kriminalisasi saat memperjuangkan kesejahteraan bagi masyarakat Pulau Pari.
Faktanya Pulau Pari yang berdekatan dengan Jakarta tetapi tidak diperhatikan oleh pemerintah. Sering kali mereka melakukan aksi demo tetapi pemerintah tidak memahami kebutuhan dan kondisi masyarakat Pulau Pari.
“Pemerintah hanya berjanji akan mempelajarinya dan hingga sekarang tidak ada perkembangannya,” keluh Aas.
Pulau Pari yang hanya seluas 43 hektar kini terancam tenggelam karena dampak dari krisis iklim sehingga saat ini luasannya diperkirakan bakal menipis menjadi 42 hektar. Masyarakat Pulau Pari pun pernah menggugat masalah ini hingga ranah internasional ke Swiss. Dengan didampingi Walhi Jakarta dan Walhi Nasional.
Kelestarian Pulau Pari juga terancam karena kesadaran dari generasi penerus di Pulau Pari masih sangatlah memprihatinkan. “Anak muda Pulau Pari belum peduli, mereka lebih condong ke wisata bukan di konflik agraria,” ujar Aas. Menurut Aas anak muda sekarang lebih senang dibentuk melalui karang taruna yang menghasilkan uang daripada harus melestarikan pulau Pari.
Akan tetapi Aas bersama kelompok perempuan kini mulai melakukan gerakan untuk mengajak anak muda bergerak untuk melindungi pulaunya. Upaya lainnya yang turut dilakukan yaitu dengan membuat sekolah anak pesisir yang setiap jumat melestarikan pantai.
Upaya pelibatan generasi muda, Solihin membagikan kisahnya dalam melibatkan anak muda dalam pengelolaan sumber daya manusia dan juga sumber daya alam di daerahnya. Masyarakat Sinjai sejak ditetapkan kawasan hutan mereka sudah mulai berkonflik dengan pemerintah, bahkan sering terjadi tumpang tindih klaim wilayah hutan.
Berbagai upaya yang komunitas mereka lakukan untuk melibatkan anak muda. “Melibatkan anak muda dalam advokasi kebijakan sejak 2009 dengan menolak izin pertambangan; Membekali pemahaman terkait kekayaan dan potensi SDA, mempelajari bagaimana tanah dan tanaman yang cocok, membuat kalender pertanian, menghitung kadar tanah, dll; Melibatkan anak muda dalam pemetaan perkembangan kampung; Mendorong kehidupan yang berkelanjutan, karena kampung ini memiliki nilai migrasi yang tinggi dari daerah yang ada disekitarnya,” ujar Solihin.
Solihin juga melakukan gerakan yang biasa mereka sebut “Gerakan pulang kampung” bagi anak muda yang merantau ke kota untuk kembali membangun kembali daerahnya dan aktif terlibat dalam kegiatan masyarakat.
KPA juga melakukan pembangunan strategi dalam menghadapi krisis pemuda. May mengatakan jika KPA melakukan penguatan basis yang ada di desa-desa. “Caranya dengan memberikan ruang dan peran bagi pemuda, melakukan konsolidasi dan advokasi di lokasi prioritas reforma agraria,” ujar May.
Contoh kasusnya terjadi di Onkau ketika perempuan bisa mendapat hak atas tanah. Menurut May dengan melihat potensi ekonomi, pertanian dan membangun desa maju reforma agraria maka harus diterapkannya lima pilar di desa-desa.
“Lima pilar itu tata kuasa, guna, produksi, distribusi hingga konsumsi, dan KPA membuat wadah pendidikan ARAS, memberikan pengetahuan bagi pemuda, perempuan,” tandas May.
Selanjutnya untuk proses regenerasi, KPA sendiri aktif mengadakan kegiatan kaderisasi untuk memperkuat basis dan berdiskusi dengan tujuan membuat gagasan besar agar kota dan desa mudah terhubung.
Minawati berpendapat bahwa proses regenerasi harus diawali atau dimulai dari keluarga intinya. JRMK telah melakukan berbagai upaya dari pintu ke pintu untuk menyadarkan bahwa politik itu penting dan membuat sekolah bagi anak muda. “Salah satu tujuan JRMK adalah menyadarkan anak muda agar berjuang untuk mempertahankan kampungnya,” kata Minawati.
Akan tetapi, perjuangan lingkungan yang berbasis regenerasi kaum muda tidak diinginkan oleh para nelayan. Menurut Hasmia nelayan tidak ingin menurunkan profesinya kepada anaknya. “karena kondisi tersebut yang membuat nelayan merasa memiskinkan karena tdk bisa membiayai sekolah lebih tinggi,” tambah Hasmia.
Namun KPPI dan KNTI tetap mengkonsolidasikan lintas generasi pengetahuan pengalaman nelayan melalui sekolah nelayan. Hal ini untuk menjadikan sekolah nelayan sebagai sekolah kader yang memberikan pengetahuan dalam pendorongan kelompok muda memelihara sumber-sumber kehidupan secara berlanjut.
Cerita pelibatan perempuan dalam pelestarian lingkungan datang dari Marice yang berasal dari Jayapura. Marice menceritakan fakta yang terjadi di tempatnya bahwa perempuan tidak memiliki ruang untuk berbicara. “Seringkali mereka merasa terpojok dan berada di bagian belakang dari kaum laki-laki”, ucap Marice.
Sebagai upaya agar perempuan di daerahnya bisa berkembang, Marice bersama perempuan di sana bersepakat membangun hutan yang disebutnya hutan perempuan sebagai tempat atau ruang bagi kaum perempuan untuk berbicara dan bersatu untuk menolak penebangan hutan.