Sekelompok perempuan itu tampak berkumpul di teras rumah. Sambil membicarakan festival dangdut yang mereka saksikan malam sebelumnya, tangannya sibuk menganyam purun. Purun merupakan tanaman sejenis rumput yang tumbuh di rawa gambut. Bentuknya seperti bambu kecil berdiameter 0,15-0,50 cm dengan panjang sekitar 50-200 cm. Purun yang sudah dikeringkan dan dipipihkan dianyam menjadi berbagai macam kerajinan seperti tikar, bakul, tas, topi, sandal, dan tudung saji.
Membuat kerajinan dari purun sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Haur Gading. Diperkirakan tradisi ini muncul sejak pemukim pertama Kalimantan bagian Selatan, hasil interaksi dari kerajaan Kuripan, Negara Dipa, dan Negara Daha yang mendiami sisi barat daya Sungai Tabalong. Tidak hanya menjadi tradisi, mengelola purun merupakan sandaran ekonomi bagi kaum perempuan di sana. Sebagian dari mereka menjadikan pekerjaan ini sebagai sumber utama penghasilan keluarga. Hal ini terutama karena wilayah Hulu Sungai Utara (HSU) didominasi oleh lahan rawa yang tergenang, tempat purun tersebut tumbuh. Oleh karena itu Kabupaten HSU memiliki sentra-sentra kerajinan anyaman purun yang tersebar di desa-desa di wilayahnya, seperti di Kecamatan Haur Gading, Amuntai Tengah, Amuntai Selatan, Danau Panggang, dan Paminggir.
Namun sejak adanya bisnis ektraktif dan rencana pembukaan gambut untuk perkebunan sawit pada tahun 1990an membuat kawasan rawa gambut di HSU terancam. Hal ini berarti mengancam pendapatan keluarga yang berasal dari kerajinan purun. Sejak tahun 2018, Epistema, bersama dengan IDLO dan Badan Restorasi Gambut (BRG) mencoba berbagai macam cara agar ekosistem tempat dimana purun tumbuh tetap terjaga. Baik itu melalui peraturan yang menetapkan kawasan perdesaan kerajinan berbasis ekosistem gambut Kecamatan Haur Gading dan Amuntai Selatan, serta juga melalui inovasi produk pengolahan purun.
Awal tahun 2019, Epistema mulai mengenalkan produksi sedotan purun kepada ibu-ibu pengrajin purun di Haur Gading. Produksi sedotan purun ini terinspirasi dari apa yang sudah pernah dilakukan masyarakat Thailand yang juga memproduksi sedotan purun di wilayahnya. Introdusir inovasi produk sedotan ini segera diterima karena cenderung lebih mudah dan singkat pengerjaannya. Tidak perlu dianyam, hanya perlu dikeringkan untuk kemudian dipotong-potong dan dikemas. Alhasil dari dua kelompok pengrajin sedotan purun ini telah terjual sedikitnya 15.000 batang sedotan purun yang diserap oleh coffee shop di berbagai daerah di Indonesia, baik itu di Jakarta, Jogja, Bali dan Lombok.