Rabu (11/9), diskusi bertajuk “Diskusi Menuju Hari Tani Nasional dan 64 Tahun UUPA”, dilaksanakan di Khanah KPA, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Diskusi ini jadi salah satu acara dalam menyambut Hari Tani Nasional yang bertepatan dengan 64 tahun Undang-Undang Pokok Agraria pada 24 September nanti.
Pada diskusi ini turut menghadirkan beberapa narasumber lintas sektor antara lain Armayanti (Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan) , Maria Nea (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia), Ilhamsyah (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), M. Isnur (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Dandhy Dwi Laksono (Koperasi Indonesia Baru), Dewi Kartika (Konsorsium Pembaruan Agraria) dan dimoderatori oleh Benni Wijaya.
Dewi Kartika memulai diskusi dengan mengatakan kondisi agraria saat ini sedang darurat. Menurut Dewi, ada banyak penyimpangan yang dilakukan pemerintah Joko Widodo dalam mengurusi masalah agraria. Mulai dari upaya merebut tanah masyarakat lewat beberapa program seperti bank tanah dan Proyek Strategis Nasional hingga beragam kebijakan yang serampangan disahkan.
Contohnya pada penguasaan tanah yang diambil paksa dari masyarakat demi kepentingan tertentu saja. “Penguasaan tanah yang dikuasai oleh pemerintah itu kedap pada kepentingan masyarakat, malah penguasaannya digunakan untuk kepentingan oligarki dan dinasti”, kata Dewi.
Selain upaya monopoli di ranah agraria, sikap pemerintah Joko Widodo yang gampang membuat kebijakan serampangan pasca Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) disahkan, menurut Dewi jadi biang masalah baru.
Pasalnya muncul banyak manipulasi proses pada kebijakan turunan dari UUCK. “Sehingga perjuangan yang fokusnya di ranah agraria jadi terbebani oleh hal-hal lain itu (red: kebijakan-kebijakan baru)”, tambah Dewi.
Dewi juga mengatakan di masa akhir pemerintahan Joko Widodo ini “Lebih kolonial dari kolonial itu sendiri”. Dewi melihat, penguasaan tanah oleh pemerintah Indonesia kini dibuat orientasi ekonominya jadi lebih liberal yang menghamba pada pemilik modal. Contohnya pada proyek Ibu Kota Nusantara yang mengobral izin penggunaan tanahnya sampai 190 tahun.
Dandhy Dwi Laksono, melihat kondisi kini tak lepas dari dua paradigma besar. Menurut Dandhy paradigmanya itu antara lain pengolahan tanah yang masih bergantung pada industri ekstraktif juga investasi dan hilangnya ikatan antara individu dengan tanah yang sudah mengalami bias.
Pada paradigma yang pertama, menurut Dandhy Indonesia masih menggunakan paradigma klasik yang bergantung pada industri ekstraktif. Dandhy mengatakan pemerintah saat ini masih menggantungkan pengelolaan tanah pada investor ketimbang diolah swadaya masyarakat karena dinilai lebih menguntungkan.
“Padahal pada realitasnya paradigma ini sudah ditinggalkan oleh negara-negara lain karena basisnya adalah industri ekstraktif dan industri ekstraktif ini membutuhkan tanah yang luas”, kata Dandhy. Menurut Dandhy, paradigma klasik yang dipilih ini bakal memunculkan efek domino ke bidang lainnya.
Paradigma kedua, yaitu tidak adanya ikatan masyarakat kelas menengah dengan tanah. Menurut Dandhy, kelas menengah yang populasinya paling banyak di Indonesia punya jarak dengan masalah-masalah agraria yang sedang berlangsung kini.
“Terjadi bias urban yang membuat hilangnya ikatan tanah pada kelas menengah”, tambah Dandhy. Dandhy beranggapan kelas menengah sudah tidak punya lagi emosi kedekatan terhadap tanah.
Kondisi ini yang disayangkan oleh Dandhy. Kelas menengah yang punya basis besar, notabene berpendidikan tinggi dan paling berisik ini tidak ada koneksi pada kondisi darurat agraria yang ada di depan mata.
Ilhamsyah bercerita latar belakang bagaimana kondisi seperti sekarang ini bisa terjadi. Menurut Ilhamsyah, masalah dimulai ketika Undang-Undang Penanaman Modal Asing tahun 1967 mulai dijalankan.
Kondisi ini mendorong terjadinya perubahan besar pada bidang ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Menurut Ilhamsyah Undang-Undang Penanaman Modal Asing punya orientasi pada pengembangan industri.
“Ketika industrialisasi mulai berjalan dengan munculnya pabrik-pabrik, membuat anak-anak petani meninggalkan sawah-sawahnya di pedesaan”, kata Ilhamsyah.
Ilhamsyah melihat kondisi ini berdampak luas pada melimpahnya jumlah tenaga kerja di perkotaan. “Sehingga dengan banyaknya calon pekerja membuat daya tawar buruh di mata perusahaan itu berkurang”, tambah Ilhamsyah.
Masalah baru pun kini muncul ketika industrialisasi menggunakan teknologi untuk menggantikan peran tenaga kerja. Ilhamsyah melihatnya bakal ada efek domino baru yang muncul yaitu banyak pekerja-pekerja informal karena tergantikan oleh teknologi di sektor industri.
Armayanti melihat selama 10 masa kepemimpinan Joko Widodo sebagai malah lebih sering terjadi kriminalisasi pada perempuan. “Dahulu, ketika ada konflik agraria hanya laki-laki saja yang mengalami kekerasan, tapi kini perempuan pun turut merasakannya”, tutur Armayanti.
Menurut Armayanti PSN yang berbasis energi menciptakan pencaplokan ruang-ruang hidup masyarakat dan perempuan. Kata Armayanti “Hal ini yang membuat kriminalisasi pada perempuan semakin tinggi.”
Selain itu, menurut Armayanti masih adanya relasi kuasa yang timpang pada sistem politik saat ini. Perempuan hanya dijadikan lumbung suara ketika Pemilu tanpa menghadirkan peran aktif perempuan pada politik itu sendiri.
Isnur mengatakan tantangan ke depan yang bakal dihadapi itu situasinya semakin kompleks karena terjadi di semua aspek. “Pada level fundamental seperti tata hukum saja sudah dirusak”, tambah Isnur.
Selain itu, hal yang lebih sulit lagi dihadapi ketika pemerintahan Prabowo berkuasa. Menurut Isnur, Prabowo bakal menggunakan kebijakan-kebijakan dari peninggalan masa Jokowi. “Hal yang sama terjadi pada masa peralihan dari pemerintahan Sukarno ke Soeharto. Soeharto memakai kebijakan sepeninggalan Sukarno untuk merepresi masyarakat.