Seri keempat Angkringan Hutan Jawa berjudul “Reforma Agraria dan Pemenuhan Hak Rakyat di Kawasan Hutan” dilaksanakan pada Kamis (21/12) via daring. Pembicara yang mengisi diskusi ini dipantik oleh tiga orang antara lain Yana Joehana, Siti Rakhma Mary, dan Mimin Dwi Hartono dengan dipandu oleh Linda Rosalina.
Yana sebagai perwakilan dari Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menceritakan soal pengelolaan kehutanan saat ini, khususnya di Jawa.
Menurut Yana saat ini ada perubahan besar terkait dengan pengelolaan hutan di Jawa. “Pengelolaan hutan oleh Perhutani mencapai saat ini 2,5 juta hektar”, kata Yana. Namun, dengan munculnya beberapa peraturan seperti Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 dapat menyelesaikan permasalah reforma agraria.
“Dengan terbitnya UUCK, maka pemerintah menyadari jika areal hutan yang tidak produktif itu untuk dimasukan dalam program Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK)”, tambah Yana. Menurut Yana, KHDPK bisa dipakai untuk kepentingan masyarakat.
Selain UUCK, PP Nomor 23 tahun 2021 tentang penyelenggaraan Kehutanan juga dianggap pemerintah bisa menyelesaikan permasalahan tenurial yang saat ini masih terjadi.
Yana menyampaikan beberapa hal yang bakal terurus jika pengelolaan hutan menggunakan program KHDPK. Dalam peraturan yang ditetapkan pemerintah program KHDPK bakal meliputi: Perhutanan Sosial (PS), Rehabilitasi Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Perlindungan Hutan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan, dan Penataan Kawasan Hutan dalam Rangka Pengukuhan Kawasan Hutan.
“Pemerintah bakal berkonsentrasi terhadap dinamika yang terjadi di lapangan soal pelepasan hutan yang nanti dimanfaatkan masyarakat”, tandas Yana.
Akan tetapi, menurut Rakhma dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) kebijakan pemerintah dalam reformasi agraria khususnya kawasan hutan dinilai masih belum tuntas masalahnya. Bahkan, banyak laporan yang diterima Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di daerah-daerah soal pelanggaran HAM yang dilakukan pada masyarakat di kawasan hutan.
Rakhma mengingatkan kembali soal sejarah penentuan hukum agraria di Indonesia. “UUD 1945 mengartikan hak menguasai negara atas tanah bukan diartikan memiliki, jadi penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam itu hanya dikelola untuk kepentingan masyarakat”, kata Rakhma.
Menurut Rakhma, hak atas tanah masyarakat membuat pemerintah harus menghormati, melindungi dan memenuhinya. Namun, hal tersebut tidak terjadi selepas 1998 ketika masyarakat melakukan banyak reklaiming tanah.
Penyelesaian konflik lahan hutan pasca reformasi 1998 malah menimbulkan banyak masalah baru. Dalam penuturan Rakhma kebijakan seperti Operasi Hutan Lestari dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) memunculkan masalah.
“Operasi Hutan Lestari yang terjadi di Blora contohnya menimbulkan korban yang kebanyakan adalah petani dan PHBM sendiri tidak mampu mengikis kemiskinan masyarakat karena sistemnya dirasa diskriminatif”, tutur Rakhma.
Rakhma mengatakan jika beberapa kebijakan penyelesaian konflik di kawasan hutan itu keliru. Contoh kasus Surokonto di Kendal terkait tukar guling Perhutani dengan PT. Sumur Pitu untuk pabrik semen Indonesia.
Menurut Rakhma skema PS yang dipilih untuk masyarakat dirasa tidak cocok untuk penyelesaian konflik di kasus ini. ”Reforma agrarialah yang bisa menyelesaikan konflik ini”, tandas Rakhma,
Setali tiga uang, Dwi dari Komisi Nasional HAM menampilkan peta soal masih maraknya pelanggaran HAM pada sektor agraria dan SDA. “Berdasarkan data yang dihimpun, konflik agraria dan SDA pada periode 2021-2023 jumlahnya mencapai 1.675 laporan”, kata Dwi.
Dalam konflik itu ada tiga hak yang diadukan masyarakat soal pelanggaran HAM antara lain Hak Atas Kesejahteraan, Hak Memperoleh Keadilan, dan Hak Atas Rasa Aman. Dari data tersebut para pelanggar yang paling banyak dilaporkan oleh masyarakat adalah dari kepolisian, korporasi, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Ancaman terhadap pelanggaran HAM di kawasan hutan menurut Dwi bakal terus meningkat karena ada kebijakan pemerintah yang melegalkan perambahan hutan. Kebijakan yang dimaksud Dwi adalah kebijakan transisi ke energi baru terbarukan khususnya co-firing.
Kebijakan ini pada dasarnya bersumber dari upaya mengatasi perubahan iklim. Namun, pemerintah menjawabnya dengan transisi energi. “Pada proyek transisi energi ini yang jadi permasalahan adalah kebijakan bauran yaitu mencampur pemakaian bahan bakar PLTU batu bara dengan co-firing (kayu)”, tambah Dwi.
Kegiatan meningkatkan produksi co-firing dianggap bakal mengancam kelestarian hutan. Pada data ditampilkan PLTU berbahan bakar co-firing di Jawa sudah terdapat 16 tempat. “Hal ini memungkinkan perambahan kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan co-firing di banyak PLTU tersebut”, kata Dwi.
Komnas HAM pun memberikan rekomendasi terkait kebijakan energi baru terbarukan yang memanfaatkan hutan agar punya dampak positif bagi masyarakat. Poin pentingnya adalah perlindungan hak atas kebutuhan dasar, perlindungan hak atas ekonomi, sosial dan budaya, juga perlindungan hak sipil dan politik.
Selain soal kebijakan energi baru terbarukan, Dwi juga menyoroti maraknya perambahan hutan karena dilegalkan dengan UUCK dan Peraturan Menteri LHK. “Tentunya hal ini bakal berpengaruh pada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan”, tambah Dwi.