[Jakarta, 26 Agustus 2015] Meskipun telah ada 124 produk hukum daerah mengenai masyarakat adat, tetapi wilayah, tanah dan hutan adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah masih sangat sedikit, hanya 15.577 hektar. Demikian disampaikan oleh Malik, staff Program Epistema Institute dalam Policy Brief “Analisis trend produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat” yang dikeluarkan oleh Epistema Institute.
Pemerintah daerah memainkan peranan penting untuk mengakui keberadaan dan hak tradisional masyarakat adat. Jauh sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusannya No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara dan memperkuat tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengakui masyarakat adat, sejumlah pemerintah daerah telah mengeluarkan produk hukum daerah mengenai pengakuan masyarakat adat.
Dari inventarisasi yang dilakukan Epistema Institute pada produk hukum daerah yang dikeluarkan dari tahun 1979 hingga Mei 2015, telah ada 124 produk hukum daerah mengenai masyarakat adat. Sebanyak 28 diantaranya merupakan produk hukum daerah di tingkat propinsi dan 96 produk hukum daerah lainnya berada pada level kabupaten/kota.
Di Kalimantan ada 40 produk hukum, di Maluku-Papua ada 12, Sulawesi ada 9, dan di Jawa-Bali-Nusa Tenggara ada 7 produk hukum daerah. Propinsi yang paling banyak mengeluarkan produk hukum daerah mengenai masyarakat adat adalah Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sebanyak 12 buah, kemudian Papua ada 4, Sumatera Barat ada 3 dan Kalimantan Tengah dan Maluku masing-masing mengeluarkan 2 produk hukum.
Sementara di tingkat kabupaten/kota tersebar di 44 kabupaten/kota dengan kabupaten/kota yang paling banyak mengeluarkan produk hukum daerah mengenai masyarakat adat adalah Kabupaten Kerinci (8), Kabupaten Bungo (5), Kabupaten Merangin (5), Kabupaten Sarolangun (5) dan Kabupaten Bulungan (5).
“Dari 124 produk hukum daerah mengenai masyarakat adat, terdapat 71 produk hukum daerah tersebut bersifat pengaturan dan 53 bersifat penetapan. Produk hukum pengaturan adalah produk hukum daerah yang sifatnya mengatur masyarakat adat dan hak tradisionalnya secara umum yang tidak menyebutkan nama komunitas atau wilayah adat tertentu. Sementara produk hukum penetapan adalah produk hukum daerah yang sifatnya menetapkan komunitas tertentu atau wilayah adat tertentu dari komunitas masyarakat adat,” terang Malik.
Dari sisi materi muatan atau isi produk hukum daerah, ada 5 klasifikasi, yaitu pertama, kelembagaan adat, peradilan adat dan hukum adat; kedua, wilayah, tanah, hutan adat dan sumberdaya alam lainnya; ketiga, keberadaan masyarakat hukum adat; keempat, Desa Adat; kelima, kelembagaan pelaksanaan produk hukum daerah mengenai adat.
Dari lima klasifikasi tersebut, klasifikasi pertama (kelembagaan adat, peradilan adat dan hukum adat) paling banyak dikeluarkan, yaitu 51 produk hukum dengan 43 diantaranya mengenai kelembagaan adat. Ada 7 produk hukum daerah mengenai peradilan adat, seperti yang dijumpai di Propinsi Sulawesi Tengah, Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Tengah dan Papua.
Selain itu, dari 124 produk hukum daerah tersebut, sebanyak 47 hukum daerah yang berkaitan dengan wilayah, tanah, hutan, dan sumberdaya alam masyarakat adat. Namun hanya 21 produk hukum daerah tersebut yang menyebutkan luas dan menampilkan peta wilayah.
“Ke depan, setiap produk hukum daerah penting untuk menyebutkan luas wilayah yang ditetapkan dan menunjukkan peta partisipatif sebagai lampirannya, agar pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak tradisionalnya bias memiliki implikasi langsung terhadap pengakuan dan perlindungan wilayah, tanah dan hutan,” ujar Malik. [Selesai]
Policy Brief “Analisis trend produk hukum daerah mengenai Masyarakat Adat” selengkapnya dapat diunduh disini.