Target pemerintah untuk mengalokasikan 12,7 juta hektar atau sekitar 10,5% kawasan hutan untuk rakyat akan sulit dicapai jika tidak ada perbaikan dalam pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan. Hal ini ditemukan pada studi kasus kami di Kabupaten Lebak dan Barito Selatan, dimana penataan batas kawasan hutan tidak atau masih belum dilakukan dengan baik.
- Penulis : Myrna A. Safitri, Nia Ramdhaniaty, Yance Arizona, Gemma Ade Abimanyu, Mumu Muhajir, Idham Aryad
- Penerbit : Epistema Institute
Regulasi terkait dengan pengukuhan kawasan hutan masih belum mampu menyediakan kepastian hukum dan keadilan dalam pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat (Safitri dan Nagara, 2015). Implementasi penataan batas kawasan hutan di Kabupaten Lebak, Banten dan Kabupaten Barito Selatan di Kalimantan Tengah mengonfirmasi hal itu. Meskipun penunjukan dan penataan batas kawasan hutan telah dilakukan, masyarakat tidak sepenuhnya setuju karena klaim mereka atas tanah yang dijadikan kawasan hutan itu belum diselesaikan. Ada persoalan hukum yang tidak jelas dalam hal ini. Ada pula persoalan koordinasi antar tingkatan pemerintahan. Demikian pula ada intervensi politik yang sulit dihindari. Akhirnya, pendekatan sosial yang kurang tepat menjadi permasalahan terbesar dalam melaksanakan tata kelola yang baik dalam pengukuhan kawasan hutan.
Menjawab hal di atas, kami menyusun paper kebijakan ini ke dalam empat bagian. Setelah bagian pendahuluan ini, kami akan menjelaskan secara ringkas mengenai regulasi pengukuhan kawasan hutan. Kemudian di bagian ketiga kami memaparkan beberapa temuan utama dari riset yang kami lakukan di Lebak dan Barito Selatan terkait dengan penataan batas kawasan hutan. Pada bagian akhir akan disampaikan sejumlah rekomendasi kebijakan.
Download: Policy Paper ini dapat anda pada link berikut: Legalitas dan Keadilan (Versi English), Legalitas dan Keadilan (Versi Bahasa)