Administrasi pertanahan di Indonesia dalam kenyataannya hanya berlaku pada 35% wilayah daratan, Pada kawasan hutan yang luasnya saat ini adalah 120,7 juta hektar, atau hampir 65% dari wilayah daratan, tiada pencatatan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Kawasan hutan dianggap sebagai hutan negara sehingga banyak pihak memandang tidak mungkin ada hak-hak atas tanah ataupun hak ulayat. Pandangan ini sesungguhnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU_X/2012.
Dualisme administrasi pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan perlu segera diakhiri karena tidak mendukung perlindungan hak-hak warga negara, juga pada upaya pelestarian hutan. Pengakuan hak atas tanah dan hak ulayat masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan tidak akan mengancam kelestarian hutan. Undang-Undang Pokok Agraria menegaskan adanya fungsi sosial dan fungsi ekologis hak atas tanah. Pemerintah perlu memastikan bahwa pemegang hak atas tanah atau hak ulayat menjalankan kewajiban memelihara lingkungannya dengan baik.
RUU Pertanahan perlu memuat materi pengaturan yang menegaskan pengakuan keberadaan hak atas tanah dan hak ulayat di dalam ataupun di luar kawasan hutan. Perlu pula diatur mengenai pendaftaran tanah negara dan tanah ulayat.
Policy Brief ini dapat anda unduh pada link berikut: Policy Brief Epistema Institute vol 2/2016.