Konflik agraria terus mengalami eskalasi. Konflik ini lekat pula dengan pelanggaran hak asasi manusia. Proses litigasi di pengadilan umum sudah tidak memadai untuk menangani konflik agraria yang bersifat struktural, yakni konflik yang melibatkan komunitas dengan badan usaha atau badan pemerintah yang diakibatkan karena ketimpangan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah sudah sangat parah. Disamping itu, pengadilan adat yang selama ini menjadi mekanisme lain dalam penyelesaian konflik antar masyarakat adat belum mendapat pengakuan secara hukum.
Policy brief ini merekomendasikan tiga jalur penyelesaian konflik agraria yang harus menjadi pengaturan dalam RUU Pertanahan: penyelesaian konflik agraria melalui lembaga non yudisial (negosiasi, mediasi, arbitrasi dan peradilan adat), quasiyudisial (komisi khusus penyelesaian konflik agraria) dan lembaga yudisial.
Policy Brief ini dapat anda unduh pada link berikut: Policy Brief Epistema Institute vol 3/2016.