Dalam beberapa tahun terakhir, sektor kehutanan Indonesia mengalami perubahan yang drastis dan mendasar. Perubahan terutama dalam pemberian hak akses dan pemanfaatan hutan bagi masyarakat lokal dan/atau masyarakat hukum adat. Perubahan tersebut bisa dilihat di beberapa peraturan perundang-undangan. Masyarakat tetap dapat mengelola hutan melalui berbagai skema. Baik perizinan, kemitraan maupun hutan adat. Pengelolaan oleh masyarakat dipercaya akan memberi kontribusi positif pada tata kelola hutan dalam jangka panjang.
Pada situasi itu-lah, di 6 September 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No: 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres ini merupakan hasil penantian panjang atas mandeknya Peraturan Bersama Empat Menteri tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah Yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan (Perber). Perber yang lahir pada Oktober 2014 mengikat Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk menyelesaikan konflik yang berada di dalam kawasan hutan. Namun karena posisi status hukum Perber dianggap kurang kuat, Kementerian Kehutanan mengusulkan untuk menaikkan status Perber menjadi Perpres.
Namun, apakah aturan Perpres ini akan lebih baik dari Perber? Berangkat dari pertanyaan tersebut, disusunlah Opini Hukum ini. Tujuannya adalah memberikan gambaran mengenai tantangan pelaksanaan Perpres 88/2017 serta irisan norma dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Opini Hukum ini dapat anda unduh pada tautan berikut ini: Opini Hukum-Okt_2017