Tanah Ulayat versus Tanah Raja
Oleh : Myrna A. Safitri
Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) di penghujung tahun 2013 (SE Nomor 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013) mengusulkan definisi baru mengenai tanah ulayat. Tanah adat –yang dipersamakan oleh surat ini dengan tanah ulayat– disebutkan sebagai bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu; tanah ulayat termasuk tanah kerajaan, kraton maupun kesultanan (Sultan Ground).
Dengan definisi itu maka Surat Edaran ini bertentangan setidaknya dengan dua peraturan lain. Yang pertama adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa tanah ulayat adalah tanah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Yang kedua adalah UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. UU ini menggunakan istilah tanah kesultanan dan tanah kadipaten untuk tanah tanah yang dikuasai oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. UU No. 13 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Kesultanan ataupun Kadipaten memegang hak milik dan bukan hak ulayat atas tanah-tanah tersebut.
Dimasukkannya tanah kerajaan ke dalam kategori tanah ulayat mempunyai implikasi serius terhadap cara pandang Mendagri mengenai masyarakat hukum adat. SE ini secara tidak langsung menyatakan bahwa kesultanan, kerajaan dan sebagainya itu termasuk ke dalam kategori masyarakat hukum adat yang memegang hak atas tanah ulayat. Tentu saja hal ini meresahkan karena penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen, secara tegas menyebutkan adanya dua kategori berbeda mengenai pemerintahan asli di Republik Indonesia. Keduanya adalah “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”. Masyarakat hukum adat termasuk ke dalam kategori yang kedua. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan contoh volksgemeenschappen itu adalah nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang. Sementara zelfbesturende landschappen adalah pemerintahan swapraja yaitu suatu pemerintahan pribumi yang memperoleh otonominya karena sejumlah perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Di tengah upaya memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukuma adat dan wilayah adat, dimana tanah-tanah komunal yang disebut tanah ulayat itu berada, maka SE Mendagri ini jelas suatu langkah mundur. Surat ini bersifat kontradiktif dengan misi UUPA untuk membentuk hukum agraria yang bersih dari anasir feodalisme.
Gerakan memperjuangkan hak masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya yang sejatinya merupakan gerakan rakyat. Lebih tepatnya adalah gerakan mengembalikan tanah untuk rakyat. Secara konseptual kerajaan, kesultanan, apalagi eks pemerintahan swapraja berbeda secara diametral dengan masyarakat hukum adat. Kerajaan dan sebagainya itu adalah organisasi politik yang memusatkan kekuasaan di satu tangan (Raja, Sultan) yang kemudian mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh kawulanya, Studi-studi antropologi dan sosiologi politik menyatakan organisasi semacam ini sebagai bentuk negara pra-moderen. Dalam sejarahnya, negara-negara ini telah hadir mendahului negara modern atau negara nasional (nation-state) yang kita kenal dewasa ini.
Jika kita sepakat bahwa gerakan masyarakat hukum adat adalah gerakan rakyat maka kita harus mengatakan tidak pada upaya memasukkan unsur kerajaan atau kesultanan ini ke dalam ketagori masyarakat hukum adat, secara khusus ke dalam kategori tanah ulayat. Perjuangan untuk pengakuan tanah ulayat (yang disebut dengan berbagai nama) adalah perjuangan untuk demokratisasi penguasaan tanah di Republik ini. Sayangnya, SE Mendagri Nomor 522/8900/SJ menjauhkan kita dari tujuan ini. [ ]