Sentralnya negara dalam pengelolaan hutan memang telah memberikan keuntungan dan kemudahan bagi negara dalam mengurus hutannya. Negara membagi-bagi hutan berdasarkan fungsi, memberikan batasan dan mengkalkulasikan kekayaannya. Pada saat yang sama, negara juga mengurus pihak-pihak mana yang dapat mengakses dan mengambil keuntungan dari keberadaan hutan tersebut. Hanya saja, hutan Indonesia sangat luas dan beragam dengan fungsi yang tidak hanya bisa dikalkulasikan secara saintifik, tetapi juga bermakna spiritual bagi berbagai masyarakat yang hidup di dalamnya. Negara juga tidak memperhitungkan keberadaan praktek pengelolaan hutan dan penguasaan tanah yang sudah ada dan bekerja di suatu kawasan hutan. Dampaknya adalah negara memutus praktek penguasaan tanah/hutan yang sudah lama bekerja tersebut dan menggantikannya dengan praktek baru yang tidak menguntungkan bagi masyarakat.
Arah perubahan tenurial di kehutanan hendaknya dapat menciptakan keamanan tenurial bagi masyarakat, pemerintah dan pemegang izin kehutanan lainnya. Saat ini sudah ada berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara yang menunjukkan kemauan negara untuk menyelesaikan konflik tenurial sekaligus mengakui dan memberi akses lebih pada hutan bagi masyarakat. Dalam dokumen RKTN 2011 – 2030, ada arahan untuk membuka kawasan hutan bagi pengusahaan hutan sekala kecil yang diusahakan melalui skema Hkm, hutan desa dan HTR. Luas yang akan direncanakan seluas 5,6 juta ha sampai tahun 2030. Selain itu, Kementerian Kehutanan akan melepaskan 18,34 juta ha hutan, sebagian sebagai usaha untuk menyelesaikan konflik, sehingga di tahun 2030, Kemenhut dapat mengelola 85% dari luasan hutan sekarang (sekitar 112,34 juta ha).
Penulis: Mumu Muhajir, Yance Arizona, Andiko, Asep Y. Firdaus, Myrna A. Safitri
Kategori: Working Paper
Saran pengutipan:
Muhajir, Mumu, dkk. 2011. Arah reformasi kebijakan penguasaan kawasan hutan di Indonesia, Kertas Kerja Epistema No.02/2011, Jakarta: Epistema Institute.
Dowload: silakan klik di sini.