Konflik agraria menjadi salah satu sumber utama tuntutan untuk memperoleh pengakuan negara atas keberadaan masyarakat adat dan hak asal-usul yang melekat padanya. Umumnya, pemerintah memperlakukan masyarakat adat sebagai objek, penduduk yang dibebani kewajiban-kewajiban. Pemerintah tidak memperlakukannya sebagai warga negara dengan segenap hak yang dipenuhi oleh negara. Mereka belum dapat pula berpartisipasi penuh dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan mulai perencanaan hingga implementasi, dan belum menikmati hasilnya, karena hak-hak konstitusional yang menjadi syarat partisipasi mereka, belum terpenuhi.
Belum pernah ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur cara pengakuan keberadaan masyarakat adat beserta hak-hak atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelolanya hingga keluarnya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut Permenag). Kajian kritis atas Permenag ini diperlukan, selain untuk mengungkap momentum istimewa dalam pembuatannya, kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong pembuatannya, dan kondisi yang memungkinkannya dibuat, juga untuk menunjukkan kemanjuran, ambiguitas, dan batas-batas keberlakuannya. Selain mempelajari kembali beberapa kajian terdahulu.
Penulis: Noer Fauzi Rachman, Siti Rakhma Mary, Yance Arizona, Nurul Firmansyah
Kategori: Working Paper
Saran pengutipan:
Rahman, Noer Fauzi, dkk., 2012. Kajian Kritis atas Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Kertas Kerja Epistema No.01/2012, Jakarta: Epistema Institute.
Dowload: silakan klik di sini.